JAKARTA, Mantan Menko Polhukam Mahfud MD menolak rencana pemerintah untuk menulis ulang sejarah terkait tragedi Mei 1998, termasuk pernyataan kontroversial Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyatakan tidak ada bukti pemerkosaan massal terhadap warga Tionghoa dalam kerusuhan tersebut.
Mahfud menegaskan, penulisan sejarah bukan tugas negara, melainkan para ilmuwan dan sejarawan, agar tidak mudah dimanipulasi demi kepentingan politik atau kekuasaan. “Sejarah yang ditulis oleh negara biasanya berubah-ubah. Sejarah sebaiknya ditulis oleh para ilmuwan, bukan pemerintah,” ujar Mahfud saat diwawancarai, Kamis (19/6).
Ia mengingatkan contoh buku sejarah karya Mohammad Yamin yang sempat dianggap valid namun kemudian terbukti banyak kekeliruan. “Kalau ditulis lagi oleh pemerintah, bisa muncul klaim sepihak yang malah menimbulkan kontroversi baru,” tambahnya.
Menanggapi pernyataan Fadli Zon yang menyangkal adanya bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998, Mahfud tegas menyebut hal itu bertentangan dengan fakta dan kesaksian korban. Ia menyebutkan hasil investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komnas HAM yang menguatkan adanya pelanggaran hak asasi manusia, termasuk kekerasan seksual.
“Banyak kesaksian korban, termasuk seorang tokoh yang trauma karena istri dan anaknya diperkosa di depan matanya. Ini fakta yang tidak bisa diabaikan,” jelas Mahfud.
Mahfud juga menegaskan bahwa Komnas HAM, sebagai lembaga resmi yang dibentuk berdasarkan undang-undang, telah menetapkan pelanggaran HAM berat dalam tragedi tersebut sebagai fakta hukum yang sah. “Sejarah pelanggaran HAM tidak bisa dihapus dengan menghilangkan fakta dalam buku pelajaran,” katanya.
Selain itu, Mahfud menyebut penyelesaian non-yudisial terhadap pelanggaran HAM di Indonesia sudah mendapat pengakuan internasional, termasuk penghargaan dari Badan Bantuan Bantuan Berlaku (BBB). “Langkah Presiden Jokowi dan pemerintah diapresiasi oleh korban dan komunitas internasional,” ujarnya.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini menekankan pentingnya kejujuran dalam menghadapi sejarah. “Pemerintah harus berani mengakui fakta, biarkan sejarawan dan masyarakat menilai dan menulis sejarah secara objektif,” pungkas Mahfud.