JAKARTA, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) merilis Trade and Industry Brief edisi Vol VIII No. 2 yang menyoroti tanda-tanda perlambatan ekonomi Indonesia di awal 2025.
Dalam laporan tersebut, tim peneliti LPEM FEB UI mengungkapkan bahwa gejala perlambatan ini dipicu oleh berbagai faktor, seperti tergerusnya daya beli masyarakat, menyusutnya kelas menengah, serta menurunnya produktivitas di sejumlah sektor. Kondisi ini tercermin dalam dinamika industri dan ketenagakerjaan nasional.
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, Indonesia memiliki 216,79 juta penduduk usia kerja. Dari jumlah tersebut, 153,05 juta orang atau sekitar 70,60% masuk dalam kategori angkatan kerja. Dari total angkatan kerja itu, sekitar 145,77 juta (95,24%) merupakan pekerja.
Namun, LPEM FEB UI menyoroti bahwa hanya 96,48 juta orang (66,19%) yang bekerja penuh. Sementara sisanya, sekitar 49,29 juta orang atau 33,81%, tidak bekerja penuh, yang mencakup pekerja paruh waktu, sementara tidak bekerja, dan pekerja informal lainnya.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan melemahnya struktur ketenagakerjaan adalah fenomena deindustrialisasi prematur. Penurunan kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), stagnasi produktivitas, dan menyusutnya serapan tenaga kerja di sektor ini menjadi kekhawatiran utama.
“Sektor industri manufaktur yang selama ini menjadi tulang punggung penyerap tenaga kerja kini menghadapi tekanan besar,” tulis laporan itu.
Di sisi lain, sektor pertanian yang selama ini menjadi bantalan ekonomi rakyat juga belum mampu bangkit akibat berbagai tantangan struktural. Mulai dari masalah ketersediaan input, rendahnya teknologi, logistik yang lemah, pembiayaan terbatas, hingga persaingan dengan produk impor.
Laporan LPEM FEB UI juga menyoroti fakta bahwa mayoritas angkatan kerja Indonesia adalah lulusan pendidikan menengah ke bawah. Meski demikian, kebijakan ekonomi dan industri nasional dinilai belum secara strategis menyasar kelompok ini.
Tim peneliti mencatat bahwa sekitar 75,2% tenaga kerja atau 108,8 juta orang terkonsentrasi di lima sektor ekonomi, yaitu:
Paling banyak di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan 40,76 juta orang, disusul perdagangan, industri pengolahan, penyediaan akomodasi dan makanan-minuman, serta konstruksi.
Kelima sektor ini menyerap 87,5% tenaga kerja lulusan SLTP ke bawah dan 73,47% lulusan SLTA. Selain itu, lulusan SLTA juga banyak bekerja di sektor transportasi dan pergudangan (6,47%) serta administrasi pemerintahan dan pertahanan (4,76%).
Laporan ini menekankan pentingnya perumusan ulang strategi industri dan ketenagakerjaan nasional. Pemerintah perlu merancang kebijakan yang lebih inklusif untuk menjawab tantangan kelompok pekerja berpendidikan rendah-menengah, serta mendorong produktivitas sektor-sektor tradisional dengan investasi pada teknologi, pelatihan tenaga kerja, dan insentif usaha mikro-kecil-menengah (UMKM).