Lockdown tiba-tiba menjadi kata yang sangat populer di telinga masyarakat awam sekalipun. Menakutkan sekaligus menimbulkan kepanikan tersendiri karena secara harfiah berarti negara dalam situasi isolasi atau pembatasan akses yang telah diundangkan sebagai tindakan keamanan seperti dimaksud dalam kamus Lexico.
Kamus Oxford mengartikan lockdown dengan perintah resmi untuk mengendalikan pergerakan orang dan kendaraan karena situasi berbahaya. Kemudian lockdown menjadi hal yang lazim dipraktikkan pada saat suatu wilayah yang dilanda wabah penyakit berbahaya agar tidak menyebar ke mana-mana.
Adalah pemerintah China yang mengambil langkah tegas itu dengan menutup seluruh akses keluar-masuk Kota Wuhan, Provinsi Hubei, pada 23 Januari 2020, atau tiga hari setelah Presiden Xi Jinping menekankan pentingnya kerja sama internasional dalam menanggulangi wabah penyakit radang paru-paru (pneumonia) berat yang pada saat itu belum diumumkan penyebabnya.
Kebijakan lockdown langsung diambil meskipun pada saat itu tim dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) masih dalam pembahasan langkah-langkah strategis untuk mengatasi kasus yang pertama kali ditemukan di Pasar Huanan, salah satu pasar tradisional yang memperdagangkan berbagai jenis ikan dan daging di Kota Wuhan. Tidak heran jika Barat mencibir kebijakan yang diterapkan oleh negara sosialis komunis tersebut karena berpotensi melanggar hak-hak asasi manusia.
Apalagi penghentian operasi transportasi publik, penutupan stasiun kereta api, terminal bus, gapura perbatasan antarkota, gerbang tol, dan bandar udara internasional dilakukan secara mendadak sehingga tidak memberikan kesempatan bagi masyarakat atau pengguna jalan untuk keluar-masuk wilayah Ibu Kota Provinsi Hubei berpenduduk 11 juta jiwa itu.
Jutaan orang terkurung dalam kota tanpa pemberitahuan sebelumnya. Masyarakat Wuhan tidak punya cukup waktu untuk membeli makanan, obat-obatan atau kebutuhan lainnya karena diumumkan pada tengah malam atau sekitar delapan jam sebelum benar-benar diisolasi pada pukul 10.00 waktu setempat.
“Hukum internasional sangat jelas bahwa selama masa darurat, kesehatan masyarakat, segala pembatasan terhadap hak asasi manusia harus didasarkan pada legalitas, kebutuhan, proporsionalitas, dan didasarkan bukti-bukti akurat,” demikian komentar The Guardian pada 2 Feburari 2020.
China bukanlah negara demokrasi dan rakyatnya tidak bisa mengganti pemimpin mereka atas kegagalan dalam mengatasi wabah yang belakangan disandikan oleh WHO dengan COVID-19 itu.
Masyarakat yang menyampaikan ketidakpuasan di media sosial bisa masuk penjara. Wartawan yang mencoba melaporkan situasi di garis terdepan dihalangi, ditahan, dan laporan mereka akan dihapus dari internet.
Warganet yang ketakutan dan tidak mendukung kebijakan pemerintah terhadap tindakan “mengorbankan” Wuhan dicap sebagai pembuat rumor yang harus ditindak. Bahkan, China tidak segan-segan menjatuhi hukuman mati bagi siapa saja yang menentang kebijakan tersebut.
Lockdown diikuti dengan pengerahan pasukan militer dan keamanan untuk bersiaga di setiap sudut kota, termasuk jalan-jalan tikus, sehingga tidak ada celah tersisa sedikit pun. Pada saat lockdwon, jumlah kasus positif COVID-19 di China sebanyak 550 dengan jumlah kematian masih di bawah angka 20.
Wuhan, kota ekonomi terbesar kedelapan di China yang baru saja mencatat kesuksesan sebagai penyelenggara ajang Pekan Olahraga Militer se-Dunia (7th CISM-MWG) mendadak mati, tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali, kecuali pemandangan mengerikan di sejumlah rumah sakit.
Kota-kota lainnya di China, termasuk Shanghai dan Beijing, sebagai kota terbesar pertama dan kedua, turut terdampak. Geliat orang-orang yang mempersiapkan perayaan Imlek mendadak “lunglai”, begitu istilah yang didapat dari salah satu grup Whatsapp di Indonesia dalam menggambarkan kondisi negara berpenduduk terbanyak di dunia pada saat itu.
Tindakan superketat tersebut belakangan menuai pujian dari dunia internasional termasuk WHO yang menyatakan bahwa seganas apa pun wabah ternyata dapat dikendalikan setelah lockdown Wuhan menunjukkan hasil nyata.
Beberapa negara, bahkan sebagian besar negara bercirikan demokrasi modern belakangan mulai menerapkan kebijakan lockdown yang diadopsi dari negara berpaham Komunis tersebut. Business Insider, media yang berbasis di Amerika Serikat, dalam edisi 20 Maret 2020 merilis daftar negara di luar China yang menerapkan lockdown.
Italia disebutnya sebagai negara pertama di luar China yang menerapkan kebijakan tersebut pada 10 Maret setelah 35.700 warganya terinfeksi COVID-19 dengan jumlah kematian 3.000 orang. Disusul Spanyol, Prancis, Irlandia, dan Belgia. Kemudian beberapa negara lain di Eropa menutup pintu perbatasannya masing-masing, termasuk juga membatalkan berbagai kegiatan bertaraf nasional dan internasional yang melibatkan banyak orang.
Beberapa negara lain di Asia, Amerika, Afrika, dan Oseania juga menerapkan kebijakan ketat untuk melindungi warganya dari paparan virus mematikan itu. Bahkan Amerika Serikat menutup pintu perbatasannya dengan Kanada dan Meksiko. AS juga menolak didarati pesawat-pesawat dari Eropa, kecuali Inggris.
Pemerintah Indonesia tidak mau larut dalam perdebatan lockdown itu, meskipun Malaysia dan Filipina sudah menerapkanya. Social distancing atau physical distancing yang menekankan pengaturan jarak antarmasyarakat lebih berterima daripada lockdown dengan segala risiko dan konsekuensinya.
Wuhan Pulih
“Strategi lockdown corona di China: brutal tapi efektif,” demikian judul salah satu halaman utama The Guardian edisi 19 Maret 2020. Tanda-tanda keberhasilan lockdown Wuhan itu sudah mulai terlihat. Dalam lima hari terakhir, tidak ada lagi temuan kasus baru COVID-19 di Provinsi Hubei.
Data yang dihimpun dari Komisi Kesehatan Nasional China (NHC) pada 24 Maret tercatat 67.800 kasus positif COVID-19 di Provinsi Hubei dengan angka kematian 3.153 orang dan kesembuhan 59.882 orang. Wuhan memang memberikan kontribusi terbanyak dengan 50.000 (positif), 2.517 (kematian), dan 42.788 (kesembuhan).
Kota Wuhan pun sudah mulai pulih, meskipun tidak 100 persen dengan mulai beroperasinya lagi perusahaan otomotif China-Jepang, Dongfeng-Honda Motor Corp, yang mempekerjakan lebih dari 12.000 karyawan per 11 Maret. Otoritas Wuhan mencabut beberapa pembatasan akses keluar-masuk wilayahnya mulai 22 Maret.
Demikian halnya dengan jaringan transportasi publik di Wuhan yang mulai beroperasi secara bertahap. Penduduk setempat hanya perlu menunjukkan kartu keterangan sehat yang dapat dipindai dari ponsel kepada petugas keamanan yang berjaga di kompleks perumahan.
Kemudian petugas tersebut memeriksa suhu badan sebelum mengizinkan warganya keluar atau memasuki kompleks perumahan. Sementara kontrol perjalanan antardistrik (kecamatan) di Kota Wuhan telah dihapus, demikian pengumuman otoritas setempat.
Masyarakat dari luar kota yang hendak memasuki Wuhan terlebih dulu harus mengajukan aplikasi permohonan untuk mendapatkan izin yang kemudian ditunjukkan kepada petugas perbatasan berikut kartu sehat di ponsel. Dokumen-dokuman lainnya untuk memasuki Kota Wuhan sudah tidak diperlukan lagi.
Sebaliknya, Pemerintah Kota Beijing memperketat wilayahnya seiring dengan bertambahnya kasus impor COVID-19 yang dibawa para pendatang yang baru kembali. Penerbangan dari berbagai negara tujuan Beijing, mulai 23 Maret, dialihkan ke 12 kota lain di China yang bandar udaranya sudah dilengkapi fasilitas kesehatan untuk pengecekan COVID-19.
Penumpang yang tidak memiliki gejala apa pun diizinkan kembali naik pesawat tujuan Ibu Kota China itu. Beberapa bandara internasional di Tianjin, Taiyuan (Provisi Shanxi), dan Hohhot (Daerah Otonomi Mongolia Dalam) sejak 20 Maret sudah bisa menampung para penumpang internasional.
Beberapa bandara lainnya yang masuk daftar tujuan pengalihan terdapat di Shijiazhuang (Provinsi Hebei), Jinan dan Qingdao (Provinsi Shandong), Nanjing (Provinsi Jiangsu), Shenyang dan Dalian (Provinsi Liaoning), Zhengzhou (Provinsi Henan), Xi’an (Provinsi Shaanxi), dan Pudong (Shanghai). Otoritas Beijing mewajibkan penumpang yang baru datang dari berbagai negara untuk melakukan tes asam nukleat COVID-19.
Di Beijing terdapat dua bandara internasional, yakni Bandara Udara Internasional Ibu Kota Beijing (BCIA) di Distrik Shunyi yang berjarak sekitar 28 kilometer dari pusat kota dan Bandara Daxing di Distrik Daxing yang baru dioperasikan pada Oktober 2019 yang berjarak sekitar 70 kilometer dari pusat kota. Hingga 22 Maret pukul 12.00 waktu setempat, Komisi Kesehatan Pemerintah Kota Beijing mencatat 99 kasus impor COVID-19 dari berbagai negara.
Padahal hingga 21 Maret tidak ada kasus tambahan COVID-19 dari penduduk setempat dalam 15 hari terakhir. Di China teradapat 353 kasus impor hingga 23 Maret sebagaimana data NHC, sedangkan Beijing menyumbang 31 persen.
Sementara itu, kehidupan sehari-hari di beberapa provinsi lainnya di China dalam beberapa hari terakhir sudah mulai normal. Beberapa tempat hiburan di Kota Shenyang, Provinsi Liaoning, seperti bar, karaoke, panti pijat, salon kecantikan, dan pusat kebugaran sudah buka secara bertahap.
Lebih dari 82 persen pusat perbelanjaan di Kota Chengdu, Provinsi Sichuan, juga sudah buka, seperti laporan Hongxing News. Fasilitas publik, seperti museum, galeri seni, dan pusat kebudayaan di Provinsi Jiangxi juga telah beroperasi. (ant)