JAKARTA, Pemerintah Indonesia menyatakan keprihatinan atas situasi terkini di Laut China Selatan, yang berpotensi meningkatkan ketegangan ketika upaya kolektif global sangat penting untuk memerangi COVID-19.
“Indonesia menggarisbawahi pentingnya menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan, termasuk untuk memastikan kebebasan navigasi dan penerbangan, dan mendesak semua pihak untuk menghormati hukum internasional khususnya Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam konferensi pers secara daring dari Jakarta, Rabu.
Saat dunia berjuang untuk melawan pandemi COVID-19, Amerika Serikat dan China terlibat dalam manuver militer di Laut China Selatan yang mencakup area sekitar 3,5 juta kilometer persegi.
Dalam insiden terbaru, armada angkatan laut China mengorganisasi latihan misi pengawasan melalui rantai Kepulauan Spratly yang disengketakan.
Misi tersebut dilakukan oleh armada pengawal angkatan laut China ke-35 untuk “meningkatkan pelatihan di laut jauh untuk kapal tempur dan meningkatkan perlindungan terhadap pembajakan untuk kapal dagang China”, menurut laporan harian berbahasa Inggris South China Morning Post yang berbasis di Hong Kong.
Menantang klaim maritim Beijing dalam apa yang disebut sebagai “kebebasan operasi navigasi”, pembom AS menerbangkan pesawat mereka di Laut China Timur.
Perwira Angkatan Laut Peoples Liberation Army (PLA) Yang Aibin mengatakan pasukannya terus meningkatkan rencana dan menyempurnakan kemampuan armada untuk melakukan tugas pengawalan.
Pekan lalu, kapal perusak peluru kendali AS USS Barry juga melakukan operasi di dekat Kepulauan Paracel—pulau-pulau yang disengketakan antara China—yang menyebut mereka sebagai Kepulauan Xisha, dan Vietnam, yang menyebut mereka sebagai Kepulauan Hoang Sa.
China bereaksi dengan mengerahkan angkatan lautnya untuk memperingatkan USS Barry.
Pada awal April, sebuah kapal penangkap ikan Vietnam tenggelam di perairan yang disengketakan di Kepulauan Paracel setelah ditabrak kapal penjaga pantai China. Kemudian, China juga mengerahkan Haiyang Dizhi 8, kapal survei geologisnya di dekat zona ekonomi eksklusif Vietnam.
Pada 18 April, China menyatakan bahwa mereka telah memperluas dan menetapkan kendali administratif atas Pulau Paracel dan Kepulauan Spratly yang disengketakan.
Pernyataan tersebut memicu penolakan dan kemarahan, salah satunya dari Filipina yang mendesak “penghormatan terhadap hukum internasional”.
Merespons situasi ini, Indonesia menyeru semua pihak yang terlibat untuk menahan diri dan tidak melakukan tindakan yang dapat mencederai rasa saling percaya—mengingat negosiasi Kode Perilaku (Code of Conduct/CoC) Laut China Selatan sedang ditunda karena wabah COVID-19.
Diprakarsai oleh ASEAN dan China, CoC yang proses negosiasinya telah memasuki putaran kedua pada Oktober tahun lalu, diharapkan dapat membantu mengatasi konflik dan menjadi pedoman tata perilaku di Laut China Selatan.
“Indonesia percaya bahwa situasi kondusif di Laut China Selatan dapat mendukung proses negosiasi CoC. Karena itu, kami tetap berkomitmen untuk memastikan penyelesaian CoC yang efektif, substantif, dan dapat ditindaklanjuti meskipun di tengah pandemi COVID-19 saat ini,” kata Menlu Retno. (ant)