Oleh: Hasan Ashari
(Mahasiswa Program Doktor Perbanas Institute)
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan baru saja mengambil langkah berani: menempatkan dana Rp200 triliun di bank-bank Himbara untuk memperkuat likuiditas perbankan dan mendorong penyaluran kredit kepada sektor produktif, khususnya UMKM. Langkah ini bukan sekadar kebijakan fiskal teknokratis, melainkan peluang emas untuk mengubah wajah perekonomian Indonesia. Pertanyaannya: mampukah kebijakan ini benar-benar menjadi bensin turbo bagi pertumbuhan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), tulang punggung ekonomi nasional?
UMKM: Mesin Ekonomi yang Terseok karena Akses Dana
Kontribusi UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih dari 60 persen, serta menyerap 97 persen tenaga kerja nasional. Namun, akses mereka terhadap pembiayaan formal masih terhambat. Porsi kredit UMKM stagnan di kisaran 20 persen dari total kredit perbankan, jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga.
Akar persoalannya terletak pada prosedur seleksi kredit yang kaku. Prinsip 5C (Character, Capacity, Capital, Collateral, dan Conditions) memang penting demi kehati-hatian bank, tetapi kerap mematikan peluang UMKM yang tak punya agunan atau laporan keuangan standar . Banyak pelaku usaha mikro yang sebenarnya punya etos kerja, kreativitas, dan pasar, namun tersingkir hanya karena tidak memenuhi syarat administratif.
Rp200 Triliun: Dari Likuiditas ke Kredit Produktif
Kebijakan penempatan dana Rp200 triliun ini diharapkan menjadi game changer. Dana negara yang sebelumnya parkir di Bank Indonesia kini masuk ke perbankan komersial, memperkuat likuiditas, menurunkan cost of fund, dan pada akhirnya membuat bunga kredit lebih rendah. Secara teori, ruang untuk menyalurkan kredit ke sektor riil menjadi lebih besar. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, dalam wawancara dengan CNBC Indonesia (15 September 2025), menegaskan:
“Kebijakan penempatan dana di bank Himbara bukan hanya soal likuiditas, tapi juga memastikan agar kredit benar-benar mengalir ke sektor produktif, khususnya UMKM. Pemerintah tidak ingin dana mengendap di sistem, melainkan harus bekerja untuk rakyat kecil yang menjadi tulang punggung ekonomi kita.”
Namun, fakta di lapangan menunjukkan tantangan serius. Data OJK mencatat, pertumbuhan kredit UMKM hingga Juli 2025 justru melambat, bahkan pertumbuhan kredit di bank persero hanya 7,35% yoy, lebih rendah dari rata-rata nasional. Selain itu, nilai undisbursed loan (kredit yang sudah disetujui tetapi belum ditarik) di bank BUMN tumbuh hingga +20,9% yoy per Juni 2025. Artinya, meski ada dana, banyak pelaku UMKM yang enggan atau tidak mampu mengaksesnya karena skema kredit tidak sesuai kebutuhan mereka.
Koperasi Desa dan BUMDes: Kanal Penyaluran Dana
Selain UMKM, agar dana Rp200 triliun benar-benar menyentuh basis ekonomi rakyat, koperasi desa dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) bisa menjadi instrumen penyaluran yang efektif.
Koperasi Desa (Kopdes/Kelurahan Merah Putih). Pemerintah menargetkan 80.000 koperasi desa/kelurahan beroperasi penuh pada akhir 2025. Dari jumlah itu, sekitar 70.000 sudah berbadan hukum (87% dari target). Lebih dari 81 ribu desa/kelurahan sudah membentuk koperasi melalui musyawarah desa.
Sementara untuk BUMDes, hingga tahun 2025, tercatat lebih dari 65 ribu BUMDes, dengan sekitar 50 ribu aktif beroperasi. Nilai ekonomi yang dikelola BUMDes diperkirakan mencapai Rp3,06 triliun per tahun. BUMDes terbukti mampu mengelola berbagai sektor: pertanian, pariwisata, perdagangan, hingga energi terbarukan.
Dengan basis kelembagaan ini, dana Rp200 triliun bisa diserap lebih cepat dan tepat sasaran jika diarahkan melalui jaringan koperasi desa dan BUMDes.
Mekanisme Alternatif: Belajar dari Dunia
Selain memperkuat UMKM, koperasi desa dan BUMDes, Indonesia perlu mengadopsi mekanisme alternatif penilaian kredit yang lebih inklusif daripada 5C. Beberapa negara sudah melangkah jauh, beberapa contoh negara yang sudah menerapkan penilaian kredit inklusif yaitu: 1) India, menggunakan sistem credit scoring berbasis data utilitas (tagihan listrik, air, telekomunikasi) dan rekam jejak transaksi e-commerce. Hal ini membuka akses kredit bagi UMKM yang tidak memiliki agunan, 2) Kenya, fintech seperti Tala dan Branch memanfaatkan data ponsel (pola komunikasi, kebiasaan pengeluaran, dan pembayaran pulsa) sebagai basis menilai kelayakan debitur mikro, 3) Tiongkok, melalui Zhima Credit (Sesame Credit) dari Ant Financial, UMKM dapat memperoleh kredit berdasarkan rekam jejak digital mereka di platform e-commerce Alibaba, dan 4) Brasil, mengembangkan Positive Credit Registry, yang mencatat riwayat pembayaran dari berbagai sumber non-bank, sehingga debitur yang disiplin bisa memperoleh skor kredit baik meskipun tidak punya agunan.
Model-model ini menunjukkan bahwa dunia bergerak menuju sistem penilaian kredit yang berbasis data alternatif, perilaku, dan rekam jejak transaksi riil. Indonesia perlu menyesuaikan diri, agar UMKM dinilai bukan hanya dari apa yang mereka miliki (aset atau agunan), tetapi juga dari siapa mereka dan bagaimana perilaku ekonominya.
Tantangan dan Jalan ke Depan
Optimisme harus diiringi kewaspadaan: 1) Standarisasi kelembagaan. UMKM, Koperasi desa dan BUMDes perlu memperkuat tata kelola agar layak menerima aliran dana besar. 2) Pendampingan dan literasi. Penyaluran dana harus dibarengi edukasi agar kredit produktif, bukan konsumtif. 3) Penjaminan risiko. Lembaga penjamin kredit perlu diperkuat agar bank tidak ragu menyalurkan dana melalui skema alternatif.
Kesimpulan: Momentum Kebangkitan
Kucuran dana Rp200 triliun ini adalah momentum. Jika diarahkan melalui UMKM, koperasi desa, BUMDes, serta didukung mekanisme penilaian kredit yang lebih modern dan inklusif, maka dampaknya akan jauh lebih besar. Indonesia bukan hanya mampu menjaga pertumbuhan ekonomi, tetapi juga melangkah menuju visi besar Presiden Prabowo: pertumbuhan 8% dan kemiskinan 0% pada 2029
Kuncinya adalah inovasi, keberanian meninggalkan cara lama, serta kepercayaan pada manusia di balik UMKM, koperasi desa, dan BUMDes. Dengan itu, kita tidak hanya menyalurkan dana, tetapi juga menyalakan nyawa ekonomi rakyat. Semoga!







