JAKARTA, Anggota Komisi V DPR RI, Mori Hanafi, menyampaikan kritik tajam terhadap rencana kenaikan tarif sejumlah ruas jalan tol yang dinilai tidak sebanding dengan kualitas layanan di lapangan. Menurutnya, masih banyak ruas tol yang belum memenuhi Standar Pelayanan Minimum (SPM) meskipun telah memberikan keuntungan besar bagi pengelolanya.
Dalam rapat Panitia Kerja (Panja) Pengawasan SPM Jalan Tol, Rabu (24/9/2025), Mori mengungkapkan bahwa ada 21 ruas tol di Indonesia yang belum memenuhi standar pelayanan. Sementara itu, 54 ruas tol lainnya dinilai telah sesuai dengan asumsi yang ditetapkan oleh Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT). Ia mencontohkan, ruas tol Jakarta–Tangerang mencatat volume lalu lintas hingga 395 ribu kendaraan per hari, demikian pula ruas Tangerang–Merak yang meski mengenakan tarif tinggi, tetap ramai dilalui kendaraan. Namun, kenyataannya kedua ruas tol tersebut belum memenuhi standar pelayanan yang ditetapkan.
Mori menyoroti sejumlah ruas tol yang meraup pendapatan tinggi tetapi masih menyisakan berbagai persoalan kualitas layanan. Salah satunya adalah Tol Cikopo–Palimanan (Cipali) yang pada 2022 mencatat pendapatan lebih dari Rp1 triliun.
Meski begitu, pengguna jalan masih sering mengeluhkan kondisi jalan yang bergelombang dan menyebabkan ban pecah. Kondisi serupa juga terjadi pada ruas Jakarta–Tangerang dan Tangerang–Merak yang setiap hari dilalui kendaraan dalam jumlah besar, tetapi tingkat kelancarannya belum sesuai standar.
Sementara itu, Tol Kayu Agung–Palembang menghadapi persoalan berbeda. Sepinya pengguna membuat pengelola kesulitan memenuhi SPM, terlebih dengan banyaknya tambalan jalan yang mengganggu kenyamanan berkendara.
“Kalau yang 21 ruas belum memenuhi standar mungkin bisa kita maklumi. Tapi bagaimana dengan ruas yang sudah untung besar, tapi pelayanannya tidak maksimal?” tegas Mori.
Politikus Partai Gerindra itu juga mempertanyakan keadilan mekanisme penyesuaian tarif tol yang dilakukan setiap dua tahun sekali. Ia menilai, kebijakan tersebut tidak pantas diterapkan pada ruas-ruas yang belum memenuhi standar pelayanan.
Mori mencontohkan tol dalam kota yang kerap macet hampir setiap saat, sehingga sulit untuk mencapai indikator kecepatan rata-rata sebagai salah satu tolok ukur SPM. “Tapi tiap dua tahun, tetap ada tuntutan kenaikan tarif,” ujarnya.
Dalam rapat tersebut, Mori mendesak pemerintah untuk menunda kenaikan tarif pada ruas tol yang telah meraih keuntungan besar namun gagal memberikan layanan optimal kepada pengguna jalan. Ia menyebut bahwa kebijakan penyesuaian tarif seharusnya mempertimbangkan kondisi nyata di lapangan, bukan sekadar angka pendapatan atau periode waktu yang telah ditetapkan.
“Kalau yang sepi mungkin bisa diberi kebijakan. Tapi untuk tol-tol yang sudah sangat untung, jangan dulu naik tarifnya,” tegasnya.
Lebih lanjut, Mori juga meminta BPJT untuk melakukan evaluasi secara objektif dan tidak berpihak kepada pengelola jalan tol. Ia menilai ada kecenderungan BPJT memaksakan kesimpulan bahwa suatu ruas telah memenuhi standar pelayanan, hanya demi membuka jalan bagi kenaikan tarif.
“Kami melihat kesimpulannya cenderung berpihak ke pengelola. Padahal di lapangan, standar pelayanan belum dipenuhi,” pungkasnya.