JAKARTA, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Sekretaris Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan (Sesdirjen Yankes) Kementerian Kesehatan periode 2024–2025, Andi Saguni (AS), untuk mendalami pengetahuannya terkait Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) atau quick wins Presiden Prabowo Subianto. Pemeriksaan dilakukan dalam rangka penyidikan dugaan korupsi pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kolaka Timur.
“Penyidik mendalami saksi AS terkait perannya sebagai Sesditjen dalam Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) atau Quick Wins Presiden ini,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo melalui pesan singkat, Minggu (23/11/2025).
Andi diperiksa sebagai saksi untuk mengungkap dugaan penyimpangan dalam proyek RSUD Kolaka Timur, salah satu proyek prioritas dalam quick wins sektor kesehatan yang fokus pada peningkatan kualitas rumah sakit.
Dalam pemeriksaan pada Jumat (21/11/2025), penyidik juga memintai keterangan Thian Anggy Soepaat, staf gudang KSO PT PCP, PT RBM, dan PT PA. Pemeriksaan dilakukan untuk menelusuri aliran uang dalam perkara ini.
“Sedangkan saksi TAS didalami pengetahuannya terkait penyerahan uang dari pemberi kepada salah satu tersangka dalam perkara ini,” tegas Budi.
Sektor kesehatan menjadi salah satu prioritas Presiden Prabowo dalam akselerasi implementasi RPJMN 2025–2029. Salah satu targetnya ialah pembangunan rumah sakit lengkap dan berkualitas di tingkat kabupaten.
Pada 2025, Kemenkes mengalokasikan Rp4,5 triliun untuk peningkatan kualitas RSUD tipe D menjadi tipe C. Alokasi itu mencakup 12 RSUD menggunakan dana Kemenkes serta 20 RSUD lainnya melalui dana alokasi khusus (DAK). Proyek RSUD Kolaka Timur senilai Rp126,3 miliar termasuk dalam pendanaan DAK tersebut.
Dalam konstruksi perkara, pada Desember 2024 diduga terjadi pertemuan antara Kemenkes dan lima konsultan perencana untuk membahas desain dasar (basic design) RSUD yang dibiayai DAK. Pekerjaan pembuatan basic design 12 RSUD kemudian dibagi kepada para rekanan melalui penunjukan langsung di masing-masing daerah.
Basic design RSUD Kolaka Timur dikerjakan oleh pihak swasta, Nugroho Budiharto dari PT Patroon Arsindo.
Kasus ini mencuat setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada 7–8 Agustus 2025 di Jakarta, Kendari, dan Makassar. Sebanyak 12 orang diamankan, termasuk pejabat Pemkab Kolaka Timur dan pelaksana proyek.
KPK kemudian menetapkan lima tersangka—di antaranya Bupati Kolaka Timur, PIC Kemenkes, PPK proyek, serta dua pihak swasta. Dalam OTT, penyidik mengamankan uang tunai Rp200 juta sebagai barang bukti.
Penyidik menduga proyek bernilai Rp126,3 miliar ini disisipi permintaan fee komitmen sebesar 8% atau sekitar Rp9 miliar. Aliran dana tersebut ditransfer secara bertahap kepada Bupati oleh pihak rekanan setelah proses lelang selesai dan kontrak disahkan pada Maret 2025.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, memaparkan bahwa sebagian uang hasil korupsi digunakan untuk keperluan pribadi Bupati, menunjukkan adanya penyalahgunaan jabatan dalam pengelolaan proyek strategis nasional.







