KPK Periksa 10 Saksi Terkait Korupsi Pengadaan EDC di BRI, Kerugian Negara Tembus Rp 744 Miliar

Logo KPK. (Antara/Benardy Ferdiansyah)

JAKARTA, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa 10 orang saksi terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) Android di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk untuk periode 2020–2024. Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada Kamis (9/10/2025).

Dalam keterangan tertulis, Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan bahwa pemeriksaan ini merupakan bagian dari pengumpulan alat bukti untuk mendalami keterlibatan berbagai pihak dalam perkara tersebut.

Read More

Adapun saksi-saksi yang dipanggil berasal dari sejumlah perusahaan swasta, termasuk:

  • Tikno Adi Prajitno, Direktur PT Eurokars Surya Utama

  • Aziz Sidqi, Direktur PT Finnet Indonesia

  • Robby Pratama Pujas, Direktur PT Tiga Kreasi Abadi

  • Arianto Abimanyu, Direktur PT Arah Digital Indonesia

  • Rendy Agustio, Direktur PT Conexat Ekstra Indonesia

  • Bambang Budyono, Direktur PT Datindo Infonet Prima

  • Suhaili, Direktur PT Dianasakti Suryaplastik Industri

  • Robert Riady, Direktur PT Otani Premium Paper Industry

  • Daniel Waturangi, Direktur PT Remada Jaya

  • Yusran Setiawan, Direktur PT Sarana Reswara Abadi

Materi pemeriksaan belum disampaikan ke publik karena proses pemeriksaan masih berlangsung.

Sebelumnya, KPK telah menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam perkara ini. Mereka adalah:

  • Catur Budi Harto, mantan Wakil Direktur Utama BRI

  • Indra Utoyo, Direktur Utama PT Allo Bank Indonesia Tbk dan mantan pejabat BRI

  • Dedi Sunardi, SEVP Manajemen Aktiva dan Pengadaan BRI

  • Elvizar, Direktur Utama PT Pasifik Cipta Solusi

  • Rudy S. Kartadidjaja, Direktur Utama PT Bringin Inti Teknologi

Kelima tersangka diduga telah mengondisikan proyek sejak awal agar vendor tertentu memenangkan proses pengadaan EDC Android, dengan mengabaikan prinsip lelang terbuka dan kompetitif. Proyek ini mencakup dua skema, yakni Full Managed Service (FMS) dan pembelian langsung (beli putus).

Berdasarkan penyelidikan KPK, proyek ini diduga direkayasa sejak 2019. Elvizar disebut menginisiasi pertemuan dengan Indra Utoyo dan Catur Budi Harto, yang kemudian menyepakati bahwa PT PCS dan PT Bringin Inti Teknologi akan ditunjuk sebagai vendor pengadaan EDC.

Untuk memuluskan proyek, hanya dua merek mesin EDC yang dilakukan proof of concept (POC), yakni Sunmi dan Verifone. Padahal, terdapat merek lain yang layak diuji.

Kerugian negara dalam kasus ini ditaksir mencapai Rp 744,54 miliar, yang terbagi atas:

  • Rp 503,47 miliar untuk pengadaan EDC FMS (2021–2024)

  • Rp 241,06 miliar untuk pengadaan EDC BRILink (2020–2024)

KPK menggunakan metode real cost untuk menghitung kerugian, yakni selisih harga jika BRI membeli langsung dari principal dibandingkan dengan harga vendor perantara.

Selain itu, sebagian pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh pemenang tender, justru disubkontrakkan kepada pihak ketiga tanpa seizin BRI.

KPK juga mengungkap adanya gratifikasi yang diterima sejumlah pejabat BRI. Catur Budi Harto, misalnya, menerima dua ekor kuda dan satu sepeda senilai Rp 525 juta dari Elvizar. Dedi Sunardi mendapat sepeda mewah senilai Rp 60 juta.

Sementara Rudy Kartadidjaja menerima fee sebesar Rp 5.000 per unit per bulan dari PT Verifone Indonesia, yang totalnya mencapai Rp 10,9 miliar. Ia juga disebut menerima dana Rp 19,72 miliar dari sejumlah pihak terkait proyek BRILink dan FMS.

Kelima tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Kasus ini menjadi salah satu perkara korupsi terbesar yang ditangani KPK sepanjang tahun 2025, baik dari sisi nilai kerugian negara maupun jumlah pihak yang diduga terlibat.

Related posts

Leave a Reply