Koperasi di Pangkal Hidung, Bukan di Ujung Bibir

Oleh: Dr. Kemal H Simanjuntak, MBA, GRCE.

Konsultan Manajemen, GRC Expert, Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan

Read More

Jika menengok ke atas kertas, Indonesia tampak menjanjikan dalam urusan kelembagaan koperasi. Dengan lebih dari 514 kabupaten/kota, seharusnya kita memiliki setidaknya 514 kantor Dinas Koperasi yang menjadi tulang punggung pembinaan ekonomi kerakyatan. Namun, dalam banyak hal, angka ini lebih banyak menjadi statistik administratif ketimbang cerminan realitas. Sebab, di banyak daerah, koperasi masih sekadar slogan.

Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM (2023), dari 127.124 koperasi yang terdaftar, hanya sekitar 51.587 unit (40,6%) yang benar-benar aktif. Sisanya, banyak yang tidak menyelenggarakan Rapat Anggota Tahunan (RAT), tidak memiliki laporan keuangan, dan bahkan tidak bisa dihubungi alamat operasionalnya.

Lebih jauh, sekitar 70% koperasi aktif masih berkutat di usaha simpan pinjam. Di lapangan, fungsi “menabung” sering kali hanya formalitas, sementara praktik pinjam-meminjam menjadi orientasi utama. Model ini menciptakan koperasi yang beroperasi seperti lembaga keuangan non-bank, namun tanpa pengawasan yang memadai. Dalam banyak kasus, koperasi semacam ini akhirnya mengalami kebangkrutan akibat moral hazard, manajemen lemah, dan konflik internal.

Masalah ini bukan hanya soal ketidaksiapan teknis, tapi juga kekosongan tata kelola. Dalam banyak survei, hanya 15% koperasi yang memiliki standar akuntansi berbasis digital, dan kurang dari 10% yang memiliki sistem manajemen risiko formal. Mayoritas masih mengandalkan pembukuan manual dan sistem pengambilan keputusan yang tertutup.

Ironisnya, dalam kondisi seperti ini, pemerintah justru merancang program besar: 80.000 “Koperasi Desa Merah Putih”. Sebuah langkah yang terdengar visioner, tapi menyimpan banyak pertanyaan. Dengan koperasi eksisting saja belum sepenuhnya sehat, bagaimana kesiapan kita mengelola koperasi dalam skala masif di tingkat desa?

Mari kita menengok ke luar. China, sejak 2006, telah membangun koperasi modern berbasis teknologi dan ekosistem industri. Koperasi mereka tidak hanya melayani simpan pinjam, tapi menjadi bagian dari rantai pasok agribisnis nasional. Pemerintahnya memberikan dukungan digitalisasi, pelatihan profesional, dan insentif berdasarkan performa.

Hasilnya cukup mencengangkan. Pada 2020, China memiliki lebih dari 2 juta koperasi petani (farmers’ cooperatives) yang aktif, dengan kontribusi signifikan terhadap ekspor pertanian dan ketahanan pangan. Mereka mengelola distribusi benih, pupuk, alat pertanian, hingga pasar ekspor dalam satu sistem terpadu.

Sementara itu, di Indonesia, banyak koperasi justru bergantung pada hibah dan dana stimulan yang sifatnya temporer. Sistem pelatihan lebih banyak bersifat seremonial, dengan modul usang dan metode instruksional satu arah. Kita belum memiliki pelatihan terstandar berbasis ISO 31000 untuk manajemen risiko koperasi. Padahal, standar ini penting untuk membekali koperasi menghadapi gejolak ekonomi dan dinamika sosial.

Ada kesan bahwa koperasi di Indonesia—alih-alih diberdayakan secara sistemik—malah lebih sering dijadikan proyek politik. Sebagai contoh, laporan BPKP (2022) menemukan bahwa lebih dari 60% dana pembinaan koperasi daerah tidak memiliki indikator kinerja yang jelas, dan sekitar 30% koperasi penerima bantuan tidak menyampaikan laporan penggunaan dana. Ini membuat efektivitas intervensi pemerintah sulit diukur secara objektif.

Apa yang lebih membingungkan adalah kenyataan bahwa banyak koperasi internal di lingkungan Dinas Koperasi sendiri tidak aktif. Ini bukan lagi soal kurangnya sumber daya, tapi kekosongan teladan kelembagaan. Jika institusi yang ditugaskan membina koperasi tidak dapat mengelola koperasinya sendiri dengan sehat dan transparan, bagaimana mungkin mereka bisa menjadi agen transformasi di tingkat akar rumput?

Mungkin sudah saatnya kita menggeser fokus. Alih-alih mengejar kuantitas koperasi baru, pemerintah seharusnya menaruh energi lebih besar pada revitalisasi koperasi yang ada. Mulai dari audit menyeluruh, klasifikasi koperasi sehat–tidak sehat–fiktif, hingga pembinaan berbasis tahapan.

Di sisi lain, pengurus koperasi perlu disiapkan melalui pelatihan modular yang mencakup pengenalan risiko kelembagaan dan keuangan, tata kelola koperasi berbasis Good Cooperative Governance, implementasi sistem akuntansi digital, serta transformasi layanan anggota melalui aplikasi koperasi digital.

Upaya ini akan lebih efektif jika didukung oleh infrastruktur pendukung yang kuat. Saat ini, lebih dari 45% koperasi tidak memiliki kantor tetap dan lebih dari 70% belum terhubung ke sistem informasi Dinas Koperasi daerah. Pemerintah bisa mendorong dashboard digital koperasi yang memungkinkan pengawasan real-time dan transparansi laporan keuangan.

Lebih dari itu, perlu kesadaran bahwa koperasi bukan sekadar instrumen ekonomi, tapi juga ruang pendidikan sosial. Dalam koperasi, anggota belajar tentang partisipasi, kepercayaan, akuntabilitas, dan keberdayaan. Tapi semua itu hanya mungkin jika koperasi berfungsi dengan benar.

Maka, sebelum membangun “kapal besar” bernama Koperasi Desa Merah Putih, pastikan dulu kapal-kapal kecil di pelabuhan tidak bocor. Revitalisasi internal adalah langkah awal menuju perbaikan struktural. Dan itu harus dimulai dari yang paling dekat dan paling nyata: koperasi di kantor-kantor pemerintah sendiri.

Kita tidak kekurangan semangat. Yang sering kurang adalah konsistensi dan desain yang matang. Koperasi tak bisa dibesarkan dengan slogan. Ia tumbuh dengan sistem yang sehat, SDM yang mumpuni, serta keteladanan nyata.

Jika koperasi kita ingin menjadi jangkar ekonomi nasional, maka ia harus ditempatkan di pangkal hidung—menjadi panduan kebijakan dan perilaku kelembagaan—bukan hanya di ujung bibir. Dan itu, sekali lagi, harus dimulai dari rumah sendiri.

Related posts

Leave a Reply