JAKARTA, Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyangkal adanya bukti pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa dalam Tragedi Mei 1998 menuai kecaman keras dari berbagai kalangan, termasuk sejarawan dan aktivis perempuan.
Dalam konferensi pers yang digelar Koalisi Perempuan Indonesia, Jumat (13/6), para tokoh menyatakan bahwa pernyataan Fadli merupakan bentuk pengingkaran terhadap sejarah kelam bangsa dan penghinaan terhadap para korban kekerasan seksual.
Sejarawan feminis Ita Fatia Nadia, yang terlibat langsung dalam pendokumentasian tragedi Mei 1998, menyebut pernyataan Fadli sebagai kebohongan publik.
“Apa yang dikatakan Fadli Zon adalah dusta. Fakta pemerkosaan massal tertulis jelas di Buku Sejarah Nasional Jilid 6 halaman 609, termasuk dalam laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diserahkan ke Presiden Habibie,” kata Ita dalam konferensi pers tersebut.
Ita menegaskan bahwa dokumen tebal setebal 5 cm yang memuat data korban kekerasan seksual telah diverifikasi negara dan bahkan menjadi dasar pembentukan Komnas Perempuan.
“Fadli Zon bukan hanya membantah sejarah, tapi juga mengingkari keputusan negara sendiri,” tambah Ita.
Ita mengungkapkan, beberapa korban pemerkosaan saat ini masih hidup dan mengalami trauma mendalam akibat penyangkalan tersebut. Salah satunya, kata Ita, adalah korban yang kini tinggal di Sydney, Australia.
“Ia menelepon saya dan bertanya apakah perlu bersaksi. Saya bilang tidak perlu. Yang penting kamu bisa hidup tenang bersama keluargamu. Tapi ini membuktikan bahwa luka itu belum sembuh,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati, menyebut Tragedi Mei 1998 sebagai pijakan penting untuk memastikan kekerasan seksual tidak lagi diabaikan oleh negara.
“Tragedi Mei 1998 bukan untuk dinegasikan, tapi untuk direparasi. Pernyataan Fadli melukai korban dan mengaburkan sejarah,” kata Mike.
Koalisi menegaskan, pernyataan Fadli yang menyebut pemerkosaan massal Mei 1998 sebagai “rumor tanpa bukti” bertentangan dengan temuan TGPF yang mencatat sedikitnya 85 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan etnis Tionghoa di Jakarta, Medan, Surabaya, dan Solo.
“Kami mendesak Fadli Zon meminta maaf kepada para korban dan mencabut ucapannya,” tegas Mike.
Sebagai catatan, Presiden Jokowi pada awal 2023 telah menetapkan 12 pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Tragedi Mei 1998, berdasarkan rekomendasi dari Panitia Pelaksana Non-Yudisial Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM).
Pernyataan Fadli dinilai bertentangan langsung dengan sikap resmi negara dan bisa memperburuk upaya rekonsiliasi nasional.