Kenaikan Harga BBM, GMNI Tuntut Subsidi untuk Rakyat Terukur

Oleh: Maman Silaban, Ketua DPP GMNI Bidang Politik, Mahasiswa Pascasarjana IPB

Subsidi, bila pun perlu, harap berikan secara terukur agar tepat sasaran kepada rakyat yang benar-benar membutuhkannya.

Read More

Pemerintah mewacanakan akan melakukan penyesuaian terhadap kebutuhan dan subsidi BBM Nasional, khususnya Pertalite.

Harga keekonomian Pertalite berdasarkan ICP US$105 dan Kurs Rupiah terhadap dollar AS Rp 14.700.

Kebutuhan Pertalite Nasional berdasarkan hasil kajian GMNI akan habis pada oktober 2022, tepatnya pada 23 Oktober 2022 dengan asumsi kuota BMM Pertalite Indonesia untuk kebutuhan 2022 sebesar 23,05 juta KL.

Maka ada kurang lebih sekitar 70 hari ke depan untuk sampai Desember 2022 Pemerintah harus menambah kuota kebutuhan konsumsi pertalite nasional.

Dalam penambahan tersebut, pemerintah akan membeli sebesar kurang lebih 5,4 jt KL Pertalite lagi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi Pertalite Nasional sampai akhir Desember.

Dalam membeli kekurangan kebutuhan itu, pemerintah harus mengeluarkan dana sebesar Rp 79,09 T.

Angka tersebut di dapat mengikuti asumsi dari Kementerian Ekonomi terkait konsumsi harian nasional akan pertalite sebesar 78.200KL dari kuota pertalite tahun 2022 sebesar 23,05 Juta KL.

Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) melihat, ada celah informasi yang perlu dikritisi agar dibuka kepada publik, yaitu terkait data konsumsi harian dari konsumsi BBM Nasional, yakni rincian dari alokasi subsidi dan kompensasi APBN berdasarkan Perpres 98/2022, terkait subsidi BBM yang perlu dijabarkan alokasi besaran subsidi atas Pertalite, Solar, Pertamax, LPG dan Listrik dari total subsidi sebesar Rp 503 T.

Hal ini perlu karena, dari sini masyarakat dapat mengetahui berapa besaran subsidi dan kompensasi komponen penyusun BBM; Pertalite, Solar dan Pertamax.

Hal tersebut yang menurut GMNI penting untuk dibuka karena dari sini publik akan dapat melihat sebenarnya berapa porsi subsidi anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah untuk BMM, LPG dan Listrik.

Lalu kita bisa menerima data bahwasanya anggaran subsidi pemerintah terhadap Pertalite cukup atau tidak, sudah habis atau belum, begitu juga dengan jenis bahan bakar dan komponen subsidi lainnya.

Menteri Perekonomian menjelaskan, bahwasanya selama ini pemerintah memberikan kompensasi sebesar Rp 6.800 kepada masyarakat.

Dimana ini merupakan gap antara HJE Rp 7.650/L dengan harga keekonomian Rp 14.450. Pun Sri Mulyani menyadari bahwasanya subsidi sebesar Rp 6.800 ini sebenarnya lebih banyak dinikmati oleh RT Mampu.

Artinya subsidi BBM-Pertalite tidak tepat sasaran selama ini atau 80% dinikmati oleh RT mampu dan 20% dinikmati oleh RT miskin dari 86% total Konsumsi Pertalite untuk RT.

Jika di konversi kedalam Rupiah, maka ada kurang lebih sekitar Rp 110,6 T yang dinikmati pemburu rente/mafia migas/manusia yang tidak bermoral dari awal tahun sampai dengan Agustus 2022 ini.

Hal wajar bila GMNI yang notabene-nya sebagai pembela kaum marhaen (rakyat miskin), menyuarakan untuk mengevaluasi kebijakan subsidi BBM yang selama ini berdasarkan analisis di atas dinilai sebagai sebuah kebijakan yang miss landing.

Miss landing policy karena penikmat dari subsidi ini ternyata mayoritas adalah Rumah Tangga (RT) mampu, yang mana seharusnya ini diperuntukkan untuk RT Kurang mampu/marhaen.

Dampak dari miss landing policy ini mengakibatkan pemerintah akan mengevaluasi harga bbm (baca: pertalite), baik melalui skema penyesuaian maupun penghapusan subsidi.

Dalam Rincian APBN 2022 berdasarkan Perpres 98/2022, dituliskan besaran dari subsidi dan kompensasi untuk BMM (Pertalite, Solar, Pertamax), LPG, Listrik sebesar Rp 503 T.

Dimana kalau di pecah, untuk BBM dan LPG saja kurang lebih sebesar 402 T. Berarti bila dihitung jumlah konsumsi pertalite nasional sampai dengan Agustus 2022.

Maka total biaya yang di subsidi pemerintah untuk Rumah Tangga (RT) adalah sebesar Rp 128,68 T, dengan asumsi belanja pemerintah sesuai dengan harga keekonomian sebesar Rp 273,45 T, dimana harga keekonomian Rp 14.450 berdasarkan asumsi kurs Rupiah 14.700 dan ICP US$105.

Sejarah Kenaikan Harga BBM, Alasan dan Amanah Rakyat
Kenaikan harga BMM bukan kali pertama terjadi di Indonesia, untuk menghemat daya ingat saya mengambil data historis pada tahun 2013 dan 2014.

Pada tahun 2013, terjadi kenaikan harga BBM, tepatnya pada bulan Juni. Kala itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menaikkan harga BBM dengan alasan untuk menyehatkan fiskal.

Mengutip Bisnis.com, 2013, Menteri ESDM kala itu, Jero Wacik menyatakan jika konsumsi BBM tidak dikendalikan melalui kenaikan harga, maka konsumsi BMM sampai akhir 2013 akan menembus 53 Juta KL dan beban belanja subsidi BBM berpotensi mencapai Rp 250 T – Rp 296 T.

Dimana dalam APBN-P 2013, pemerintah mematok belanja subsidi BBM hanya Rp 199,85 T dengan memperhitungkan kenaikan harga BBM bersubsidi.

Pada 2014, tepatnya bulan November, Pemerintah Indonesia juga menerapkan kenaikan BBM, khususnya Premium dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500.

Kala itu merupakan awal kepemimpinan Ir. Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia ke-7.

Melansir Kompas.com, 2014, saat itu Jokowi mengatakan bahwasanya menetapkan kenaikan BBM merupakan suatu kebijakan yang sulit untuk sebuah bangsa.

Namum itu dilakukan mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut guna mengalihkan subsidi BBM dari konsumtif menjadi produktif (infrastuktur, kesehtan dan pendidikan).

Lalu, sebentar lagi kita juga akan dihadapi dengan kasus yang sama, yakni akan adanya penetapan harga BBM (pertalite, solar, pertamax) yang baru, atau bahasa afirmatifnya adalah penyesuaian subsidi BBM.

Dalilnya adalah harga minyak global sedang diatas harga forecast yang ditetapkan dalam Perpres 98/2022. Padahal Perpres ini baru diperbaharui Juni 2022 lalu, atas perubahan terhadap Perpres 104/2021 tentang Rincian APBN 2022.

Hal ini membuat GMNI, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia berfikir kembali, sebenarnya apa yang sedang terjadi di Negeri ini, mengapa disaat masyarakat sedang belajar untuk menyesuaikan keekonomian hidup pasca pandemi Covid-19,

Negara malah terkesan tidak serius dalam merumuskan bahkan menjalankan suatu kebijakan yang mereka tetapkan. Ini menjadi kegelisahan GMNI, secara Nasional.

Hari ini GMNI melihat, dari trend kenaikan harga BBM pada 2013 dan 2014, yang mana pada saat pemerintah menetapkan kebijakan menaikkan harga BBM, maka yang terjadi adalah shock (kejutan) di masyarakat, Inflation by Administered Prices, inflasi karena kebijakan pemerintah.

Dampak sosial ekonomi dari permasalah tersebut adalah simpelnya, angka kemiskinan baru akan bertambah, dikarenakan secara otomatis daya beli masyarakat akan berkurang, dikarenakan biaya produksi barang-barang akan melambung.

Lagi-lagi masyarakat miskin yang lebih banyak menerima dampak negatifnya. Sangat tidak fair, karena ketika subsidi berlaku, data menunjukkan bahwasanya penikmat dari anggaran subsidi tersebut adalah mayoritas masyarakat/RT mampu/atau orang kaya kalau saya dipaksa mengklasterkannya.

Lalu, dimana letak sila ke-5, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Inilah yang menjadi landasan filosofis atau filosofische grondslag mengapa GMNI – Marhaenis, menyadari perlu malakukan massa – aksi demi perjuangan terhadap Kaum Marhaen.

EVALUASI SECARA RADIKAL SUBSIDI BBM…!
KEADILAN UNTUK RAKYAT…!
GMNI JAYA…!
MARHAEN MENANG…!

 

 

Related posts

Leave a Reply