Kemenkeu Ingin Pinjamkan Sisa Anggaran Lebih, Bright Institute: Indikasi Tidak Baik-baik Saja

 JAKARTA, Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 88 Tahun 2024, bendahara negara kini dapat memberikan pinjaman yang berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) APBN. Lembaga riset ekonomi Bright Institute melihat langkah tersebut memiliki indikasi bahwa sedang ada kebutuhan mendesak untuk mengantisipasi keadaan yang tidak baik-baik saja.

SAL adalah akumulasi bersih dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran/Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran (SiLPA/SiKPA) tahun-tahun APBN yang telah lewat. Penggunaan SAL sebagai penerimaan pembiayaan APBN harus ditetapkan dalam UU APBN tahun bersangkutan bersama DPR.

Read More

Ekonom Senior Bright Institute Awalil Rizky melihat setidaknya ada dua urgensi Kementerian Keuangan menerbitkan PMK tersebut. Yang pertama adalah untuk menstabilkan nilai Surat Berharga Negara (SBN), sedangkan yang kedua adalah mempersiapkan kebutuhan BUMN yang akan berdarah-darah mencari likuiditas.

“Syarat untuk mendapatkan pinjaman dari SAL ini adalah memberikan jaminan berupa deposito atau SBN. Ada indikasi pemerintah mengharapkan BUMN yang memerlukan dana untuk tidak menjual SBN ke pasar obligasi yang bisa semakin menjatuhkan nilai SBN,” ujar Awalil dalam dalam webinar yang dilaksanakan pada Selasa (17/12) sore.

Pihak yang dapat menjadi penerima pinjaman atau debitur dana SAL ini berdasarkan PMK 88/2024 adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Pemerintah Daerah (Pemda), dan Badan Hukum Lainnya (BHL). Awalil melihat yang paling mungkin melakukan pinjaman adalah BUMN karena pihak lain seperti pemda dan BUMD kebanyakan memiliki keterbatasan dalam memenuhi jaminan deposito dan SBN tersebut.

“BUMN lah yang diprediksi akan ada kebutuhan serius menggunakan pinjaman dari SAL ini. Kita tahu bahwa saat ini banyak BUMN yang keadaan keuangannya cukup riskan, dan diberikan akses pinjaman SAL ini seperti mengisyaratkan kedepannya BUMN-BUMN yang bleeding atau berdarah-darah ini akan coba ditambal menggunakan pendanaan jangka pendek dari perbendaharaan negara tersebut,” ujar Awalil.

Pinjaman SAL berdasarkan PMK 88/2024 bersifat jangka pendek. Lama pinjaman maksimal 90 hari dan tidak boleh melewati akhir tahun anggaran.

Awalil juga menyoroti nilai SAL yang sejatinya sudah terbilang tak terkontrol sejak 2019. Awalil menilai adanya Sisa Lebih atau Kurang dalam realisasi APBN merupakan hal wajar dalam pengelolaan keuangan negara namun ia mengingatkan jika nilainya terlampau besar maka mengindikasikan sistem dan mekanisme penganggaran yang tidak efektif dan tidak efisien.

“Kondisi SiLPA tahun 2022 sebesar Rp479,96 triliun dan tahun 2023 sebesar Rp459,50 triliun. Kita melihat lonjakan posisi SAL mulai tahun 2019 dan tak terkontrol setelah tahun pandemi. Padahal pada era sebelumnya, selalu di bawah Rp200 triliun dan sebelum 2014 hampir selalu di bawah Rp100 triliun,” jelas Awalil.

Awalil menekankan pengelolaan SAL yang sudah ini seharusnya lebih dibuat lebih transparan dan dikomunikasikan terbuka kepada publik serta diperhatikan lebih khusus oleh DPR, terutama setelah aturan mainnya diubah oleh Kementerian Keuangan dengan PMK 88/2024 ini. Karena menurutnya, pinjaman menggunakan SAL ini sejatinya memiliki risiko yang berhubungan erat dengan berjalannya pemerintah dan sistem keuangan negeri ini.

“Meski dinyatakan akan memenuhi asas kehati-hatian, pemberian pinjaman dana SAL dan pengelolaan temporer lainnya tetap memiliki risiko. Risiko lebih luas berupa keterhubungan makin erat dengan pasar SBN dan kondisi perbankan. Informasi kepada publik mestinya lebih banyak, dan DPR melakukan pengawasan ketat,” pungkas Awalil.

Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana juga mengafirmasi mengenai pengelolaan SAL yang seharusnya dibuat lebih transparan lagi karena selama ini diskusi terhadap hal tersebut sangat jarang padahal nilai yang dipertaruhkan tergolong sangat besar.

“Bentuk serta penempatan SAL ini perlu diinformasikan kepada publik luas. Karena kalau melihat dari LKPP saja, penyesuaian pembukuan SAL ini menghasilkan selisih perbedaan yang sangat besar, seperti di tahun 2022 koreksinya di tahun 2023 adalah kelebihan Rp11,6 triluh, namun di 2023 berbalik minus Rp3,5 triliun. Nilai-nilai yang dipertaruhkan dalam SAL ini sangat besar dan Pihak DPR harus lebih aktif mempertanyakan berbagai aspeknya kepada Pemerintah sebagai bagian dari pengawasan dan kontrol pengelolaan keuangan negara,” tutup Andri.

Related posts

Leave a Reply