JAKARTA, Anggota Komisi VI DPR RI, Ir. Budi Sulistyono, menilai rencana bisnis PT Kereta Api Indonesia (KAI) masih menyisakan sejumlah pertanyaan. Ia menekankan pentingnya perencanaan yang matang, terutama terkait restrukturisasi perusahaan dan wacana pembangunan jalur kereta cepat Jakarta–Surabaya.
Dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI DPR RI Dengan Dirut PT. Kereta Api Indonesia, Legislator dari PDI Perjuangan ini menyoroti laporan laba bersih KAI tahun 2024 sebesar Rp1,1 triliun dan proyeksi tahun 2025 mencapai Rp1,185 triliun. Menurutnya, klarifikasi diperlukan agar tidak menimbulkan persepsi yang keliru.
“Angka Rp1,185 triliun ini terlihat meyakinkan, tetapi perlu ditegaskan apakah sudah merupakan realisasi atau masih berupa target. Jangan sampai hanya paparan tanpa dasar yang nyata,” kata Kanang di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (20/8/2025).
Kanang, sapaan akrabnya, juga menilai rencana restrukturisasi KAI belum disampaikan secara rinci. “Apakah restrukturisasi mencakup organisasi, pembiayaan, sumber daya manusia, atau sarana-prasarana, belum terlihat jelas. Komisi berharap ada rancangan konkret dalam waktu dekat,” ujarnya.
Kanang turut menyinggung wacana merger PT Industri Kereta Api (INKA) ke dalam KAI. Sebagai alumni INKA, ia menilai penyatuan kedua BUMN tersebut berisiko menambah beban KAI.
“KAI berfungsi sebagai operator, sementara INKA merupakan industri. Genetikanya berbeda. Jika dipaksakan, justru berpotensi menimbulkan masalah baru bagi KAI yang saat ini saja masih menghadapi tantangan berat,” ucapnya.
Terkait rencana Presiden memperpanjang jalur kereta cepat hingga Surabaya, Kanang menilai hal itu merupakan gagasan besar yang patut didukung. Namun, ia mengingatkan perlunya rencana bisnis yang matang agar tidak menambah beban perusahaan.
“Wacana ini bisa menjadi puncak perkembangan perkeretaapian nasional. Namun, harus ada roadmap dan perhitungan bisnis yang jelas. Jangan sampai KAI menerima proyek besar tanpa persiapan, lalu akhirnya merugi,” katanya.
Ia juga mengusulkan agar pembangunan memperhitungkan kapasitas jalur. “Jika jalur ganda bisa ditingkatkan menjadi empat, itu akan lebih efisien tanpa pembebasan tanah baru,” ujarnya.
Kanang menambahkan, sudah saatnya pemerintah mempertimbangkan pemisahan fungsi operator dan prasarana perkeretaapian. Menurutnya, skema ini sudah diterapkan di sejumlah negara dan terbukti mampu mendorong masuknya investasi swasta.
“Jika KAI difokuskan sebagai operator, sementara prasarana ditangani pihak lain, beban perusahaan akan lebih ringan. Investor baru juga bisa lebih leluasa masuk ke sektor perkeretaapian,” kata Kanang.
Ia mencontohkan model yang berlaku di sektor transportasi lain, seperti DAMRI yang tidak menguasai jalan, Pelni yang tidak menguasai pelabuhan, dan Garuda yang tidak menguasai bandara.
Kanang juga menekankan agar KAI tidak hanya menonjolkan manfaat sosial atau politik dari setiap proyek, tetapi juga menyiapkan perhitungan bisnis yang realistis.
“Negara tengah berupaya mengoptimalkan aset untuk menopang pembiayaan. Karena itu, KAI perlu berani menyiapkan perencanaan yang detail dan terukur, sehingga benar-benar memberi kontribusi bagi pendapatan negara,” pungkasnya.