JPPI: Arah Pendidikan Nasional di Era Prabowo-Gibran Melenceng dari Konstitusi

Ilustrasi

JAKARTA, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengkritik keras arah kebijakan pendidikan nasional di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Dalam evaluasi satu tahun kinerja, JPPI menyebutkan setidaknya tiga pelanggaran serius terhadap amanat konstitusi di sektor pendidikan.

Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, menyebut pemangkasan anggaran pendidikan untuk mendanai program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai bentuk pelanggaran terang-terangan terhadap Pasal 31 ayat 4 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pasal tersebut mewajibkan alokasi minimal 20% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk sektor pendidikan.

Read More

“Ini bukan sekadar salah kelola, tapi dugaan pelanggaran konstitusi yang terang-benderang,” tegas Ubaid dalam siaran pers yang diterima, Senin (20/10).

Menurut JPPI, kebijakan ini tidak berpihak pada anak dan justru melemahkan sistem pendidikan nasional. Ironisnya, anggaran MBG yang besar tersebut dilaporkan belum terserap optimal tahun ini, namun pemerintah tetap berencana menaikkan alokasinya di tahun anggaran 2026.

Masalah kedua yang disorot JPPI adalah pengabaian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024 yang menegaskan bahwa pendidikan dasar harus diberikan tanpa biaya, baik di sekolah negeri maupun swasta.

Ubaid menilai, kegagalan pemerintah dalam mengeksekusi putusan ini melanggar Pasal 34 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Pasal 31 UUD 1945. Kedua pasal tersebut mewajibkan negara untuk menjamin pembiayaan pendidikan dasar bagi seluruh warga negara.

Data Kemendikdasmen mencatat bahwa masih ada sekitar 4,1 juta anak Indonesia yang tidak bersekolah, sebagian besar karena hambatan ekonomi. JPPI menyebut angka ini sebagai indikator kegagalan negara dalam menjamin hak dasar pendidikan bagi setiap anak.

Masalah ketiga adalah model pendidikan baru yang dinilai diskriminatif. Pemerintah disebut menerapkan pemisahan kelas sosial melalui pembentukan dua jalur pendidikan: Sekolah Rakyat untuk anak-anak dari keluarga miskin dan Sekolah Garuda untuk siswa unggulan dari kalangan mampu.

“Ini adalah bentuk pendidikan elitis yang bertentangan dengan prinsip keadilan sosial. Sekolah Rakyat hanya mampu menampung 0,3% dari anak yang putus sekolah karena faktor ekonomi. Ini bukan solusi, ini kosmetik,” kata Ubaid.

Ia menegaskan bahwa Sekolah Garuda berpotensi menjadi simbol eksklusivitas baru bagi kalangan ber-privilege, sementara anak-anak dari keluarga tidak mampu kembali terpinggirkan dari akses pendidikan berkualitas.

Atas dasar tiga persoalan besar tersebut, JPPI mendesak pemerintahan Prabowo-Gibran untuk segera mengoreksi arah kebijakan pendidikan nasional. Mereka meminta agar pendidikan tidak dijadikan alat politik, melainkan kembali kepada mandat konstitusi: pendidikan yang inklusif, bebas pungutan, dan berkeadilan untuk semua.

“Kalau arah ini tidak segera dikoreksi, sejarah akan mencatat bahwa pemerintahan ini gagal menjaga hak paling dasar anak bangsa: hak atas pendidikan tanpa diskriminasi,” pungkas Ubaid.

Related posts

Leave a Reply