JAKARTA, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan pentingnya penerapan prinsip Governance, Risk Management, dan Compliance (GRC) secara menyeluruh di Indonesia. Ketua Dewan Audit merangkap Anggota Dewan Komisioner OJK, Sophia Wattimena, menyatakan bahwa ekosistem GRC harus menjadi kebutuhan nasional, bukan sekadar kewajiban administratif.
Hal ini disampaikan Sophia dalam acara Risk & Governance Summit (RGS) 2025 yang diselenggarakan di Balai Kartini, Jakarta, Selasa (19/8/2025).
“Indonesia menghadapi tantangan tersendiri terkait governance, di mana Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia pada tahun 2024 hanya berada di angka 37, menempatkan kita di peringkat 99 dari 180 negara,” ujar Sophia.
Sophia juga menyoroti skor Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia yang mencapai 6,33, menunjukkan bahwa iklim investasi masih belum efisien. Ini diperkuat dengan skor B-Ready Index 2024 yang juga berada di bawah rata-rata global, mencerminkan masih adanya hambatan struktural di sektor bisnis dan keuangan Indonesia.
“Skor ini menunjukkan bahwa iklim usaha di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan struktural, dan tata kelola yang baik adalah kunci untuk memperbaikinya,” tambahnya.
Berdasarkan Global Risk Report 2025 dari World Economic Forum (WEF), Indonesia diperkirakan akan menghadapi sejumlah risiko besar, termasuk:
-
Disinformasi dan misinformasi
-
Ancaman siber (cyber insecurity)
-
Cuaca ekstrem (extreme weather)
-
Ketidakpastian geopolitik
“OJK berkontribusi untuk meningkatkan kesadaran pentingnya governance demi mengawal pembangunan nasional. Risk and Governance Summit ini menjadi sarana edukasi dan kolaborasi untuk memperkuat ekosistem GRC,” tegas Sophia.
Lebih lanjut, Sophia menegaskan bahwa penerapan prinsip GRC tidak hanya relevan bagi sektor keuangan atau korporasi, tetapi juga sangat penting untuk meningkatkan kualitas layanan publik dan efisiensi regulasi pemerintah.
“GRC bukan hanya soal kepatuhan, tapi soal menciptakan ekosistem pembangunan yang sehat dan berkelanjutan,” pungkasnya.