JAKARTA, Buku bukan sekadar lembaran kertas berisi tulisan atau gambar. Lebih dari itu, buku adalah monumen kebudayaan, penanda peradaban, sekaligus soko guru pengetahuan. Melalui buku, gagasan dimaktubkan, pemikiran dipelajari, dan jejak peradaban diabadikan. Karena itu, keberadaan buku seharusnya mendapat perhatian besar dari negara.
Pesan tersebut disampaikan Ketua Komisi Xlll DPR, Willy Aditya, saat menerima tim Badan Keahlian DPR yang dipimpin Bayu Dwi Anggono, di Kompleks Parlemen, Rabu (10/9/2025). Dalam pertemuan itu, tim menyerahkan naskah akademik (NA) beserta draf revisi UU No. 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan.
Revisi regulasi perbukuan merupakan usulan Willy. Perhatian legislator dari Fraksi NasDem itu tumbuh dari keprihatinan atas melemahnya ekosistem literasi di Indonesia. Ia berharap revisi ini dapat masuk program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2025.
“Fenomena yang kita lihat adalah penurunan atensi bangsa terhadap buku. Ini bukan sekadar soal minat baca, tetapi sudah menyentuh soal peradaban,” ujarnya.
Ia menunjuk rendahnya literasi masyarakat, meredupnya toko-toko buku, hingga perpustakaan yang hanya memadai di kota besar sebagai gejala yang mengkhawatirkan. Dalam kacamata peradaban, kata Willy, kondisi ini berbahaya bagi masa depan bangsa.
Di level kultural, terjadi pergeseran perilaku. Buku tak lagi menjadi bahan diskursus yang hidup. Toko buku kehilangan gaungnya sebagai ruang perjumpaan intelektual. “Di Senen, misalnya, toko buku berada di selasar gelap dan pengap, jauh dari kesan terhormat,” katanya.
Di level struktural, ia menilai UU No. 3 Tahun 2017 bias pada buku ajar sebagai pelengkap wajib belajar sembilan tahun. Akibatnya, gairah produksi buku tidak berkembang, hanya sebatas kebutuhan pendidikan formal.
Problem lain adalah tingginya harga kertas dan keberadaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada buku. “Dalam hemat saya, PPN atas buku harus dihapus. Bagaimana mungkin kita mencerdaskan bangsa kalau aksesnya justru dipersulit dengan harga mahal?” ujarnya.
Bagi Willy, ekosistem perbukuan yang sehat adalah prasyarat utama lahirnya bangsa dengan literasi kuat. Buku adalah medium pengetahuan. Tanpanya, pengetahuan takkan kokoh.
Melalui revisi UU Sistem Perbukuan, ia mengajak semua pihak mengarahkan perhatian pada isu fundamental ini. “Semoga ini menjadi amal jariyah kita bersama. Dan bagi saya pribadi, ini adalah ikhtiar menjaga arti penting buku sebagai simbol peradaban,” pungkasnya.