JAKARTA, ICW menolak pengesahan RKUHP karena melemahkan pemberantasan korupsi. Oleh sebab itu, ICW menolak draf RKUHP itu. Berikut sejumlah alasan yang disodorkan.
“Mayoritas pasal yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, hukuman pokok berupa pidana badan dan denda dikurangi,” kata penggiat ICW, Kurnia Ramadhana, dalam keterangannya, Selasa (2/8/2022).
Pertama, Pasal 607 RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Aturan ini ternyata memuat penurunan pidana badan dari 4 tahun menjadi 2 tahun penjara.
“Tidak cukup itu, denda minimalnya pun serupa, turun dari Rp 200 juta menjadi hanya Rp 10 juta,” ujarnya.
Kedua, Pasal 608 RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 3 UU Tipikor. Sekalipun pidana badan mengalami kenaikan dari 1 tahun menjadi 2 tahun penjara, tapi tidak sebanding dengan subjek hukum pelaku, yakni pejabat publik.
“Ini sekaligus upaya menyamakan hukuman antara masyarakat dengan seorang yang memiliki jabatan publik tertentu,” ucapnya.
Ketiga, Pasal 610 ayat (2) RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 11 UU Tipikor. Hampir serupa dengan ketentuan lain, hukuman yang ditujukan kepada penerima suap ini pun mengalami penurunan, dari 5 tahun menjadi 4 tahun penjara. Untuk hukuman pokok lain, seperti denda juga menurun, dari Rp 250 juta menjadi Rp 200 juta.
“Spesifik menyangkut hukuman denda, penting disampaikan bahwa salah satu pidana pokok tersebut masih terbilang rendah di dalam naskah RKUHP. Bagaimana tidak, denda maksimal yang bisa dijatuhkan kepada pelaku hanya Rp 2 miliar. Berbeda jauh dengan UU tindak pidana khusus lain, seperti UU Narkotika atau UU Anti Pencucian Uang yang dendanya bisa mencapai Rp 10 miliar,” bebernya.
Berpijak pada latar belakang korupsi sebagai kejahatan ekonomi, semestinya pidana denda dapat ditingkatkan.
“Dalam banyak literatur ditegaskan bahwa korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Sayangnya, ketentuan itu dihilangkan dari RKUHP, misalnya, Pasal 610 ayat (2) terkait tindak pidana suap. Atas kondisi substansi aturan semacam ini, bukan tidak mungkin hakim dapat memanfaatkan diskresinya secara berlebihan guna menghukum ringan para pelaku,” pungkasnya.