JAKARTA, Harga tetes tebu atau molase yang merosot tajam hingga sekitar Rp1.000 per kilogram memicu keresahan di kalangan petani tebu rakyat. Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen, mengingatkan dampak serius yang tidak hanya soal pendapatan petani menurun, tetapi juga potensi bahaya penyimpanan molase yang tidak tepat.
“Molase berbentuk cair dan harus disimpan di tangki dengan spesifikasi khusus. Jika disimpan terlalu lama tanpa pengelolaan yang benar, bisa terjadi reaksi kimia berbahaya, bahkan berpotensi meledak,” ungkap Soemitro dalam Seminar Ekosistem Gula Nasional di Jakarta, Rabu (27/8).
Menurut Soemitro, reaksi Maillard yang pernah terjadi pada 2012 membuat tetes tebu bisa berubah menjadi padat, panas, dan meledak jika penanganannya salah. Kondisi ini membuat petani mendesak pabrik untuk segera menyerap tetes hasil produksinya, dan jika tidak, mereka menuntut pabrik membayar sesuai hak.
Normalnya, harga tetes tebu berada di kisaran Rp2.500-Rp3.000 per kilogram. Namun, saat ini harga jatuh drastis menjadi sekitar Rp1.000 per kilogram, yang berdampak langsung pada pendapatan petani.
“Soal pendapatan, setiap kuintal tebu menghasilkan sekitar 3 kg tetes. Penurunan harga tetes sebesar Rp1.500 hingga Rp2.000 per kg berarti petani kehilangan Rp4.500 hingga Rp6.000 per kuintal tebu. Ini dampak yang sangat besar bagi kesejahteraan petani,” jelas Soemitro.
Untuk mengatasi masalah ini, APTRI mendesak pemerintah segera merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 16 Tahun 2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
“Kami minta revisi Permendag nomor 16 tahun 2025, bahkan pemberlakuannya sementara waktu ditunda dan kembali ke Permendag nomor 8 tahun 2024,” ujar Soemitro.
Selain pembatasan bea masuk impor etanol, pembatasan kuantum impor juga perlu diberlakukan agar produksi molase dalam negeri terserap maksimal.
Soemitro mengungkap kondisi kritis yang sudah terjadi di lapangan. “Petani di Rejoagung, Jawa Timur, melaporkan dalam beberapa hari tetes tebu akan meluber. Jika ini terjadi, pabrik terpaksa berhenti menggiling tebu. Akibatnya, tebu yang sudah siap panen tertunda dan menghambat produksi gula nasional,” kata Soemitro.
Masalah lain, pembeli yang sudah membayar uang muka (DP) enggan mengambil molase karena keterbatasan tempat penyimpanan, membuat pabrik menolak menerima lagi tetes tersebut.
Selain itu, Soemitro menyinggung dugaan industri monosodium glutamate (MSG) beralih ke bahan baku lain sehingga penyerapan molase menurun drastis.
“Kami menduga industri MSG tidak lagi menggunakan molase sebagaimana biasanya, sehingga kelebihan molase tidak dapat terserap,” pungkasnya.