Kopi merupakan minuman yang tetap diminati oleh masyarakat di seluruh dunia. Data International Coffe Organization (ICO) menunjukkan bahwa konsumsi kopi dunia pada periode 2016/2017 tumbuh 1,9% menjadi 157,38 juta karung berisi 60 kg dari periode sebelumnya. Tumbuhnya konsumsi kopi global tentunya memberikan dampak positif bagi Indonesia yang merupakan negara eksportir kopi terbesar kedua dunia.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, kopi Indonesia yang diekspor mencapai 467.790 ton dengan nilai US$ 1,19 miliar atau setara Rp 16 triliun dengan kurs rupiah Rp 14 ribu per dolar Amerika Serikat.
Namun, Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino mengungkapkan bahwa meningkatnya ekspor komoditas Indonesia seringkali tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan petani produsennya.
“Nasib petani kopi tak seharum wangi kopi. Banyak petani kopi justru tercatat sebagai penerima bantuan beras rakyat miskin (raskin). Artinya mereka tercatat sebagai penduduk miskin yang mengandalkan subsidi pangan dari pemerintah,” ungkap Arjuna
Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bapelitbangda) KBB mencatat jumlah warga miskin di Bandung Barat sebesar 11,15% ata Swu sekitar 198.644 orang. Padahal Kabupaten Bandung Barat merupakan salah satu daerah penghasil kopi arabika jenis premium Java Preanger dengan jumlah produksi 1000 ton per tahun.
Menurut Arjuna Ketua Umum DPP GMNI, hal ini disebabkan karena selama ini mayoritas petani tak memiliki posisi tawar dalam menentukan harga jual kopi, yang membuat kehidupan mereka miskin meski bisnis kopi terus menggeliat.
“Selama ini petani kita tak punya daya tawar. Petani kalah dengan tengkulak. Mereka hanya menjadi objek dari transaksi yang tidak adil yang diterapkan oleh tengkulak”, tambah Arjuna
Maka menurut Arjuna, Negara harus hadir agar tercipta jalur penjualan alternatif untuk membantu petani agar mendapat harga jual yang layak. Sehingga kesejahteraan petani bisa perlahan membaik.
“Negara harus hadir. Tidak cukup hanya dengan menentukan harga acuan. Tapi menyediakan jalur penjualan alternatif yang memberi harga yang layak kepada petani. Bisa dengan bentuk koperasi tani”, tutur Arjuna
Kondisi di lapangan seringkali para tengkulak saling bekerja sama membentuk harga yang merugikan petani. Mereka membentuk kartel, hingga menguasai pasar penjualan dan distribusi komoditas tertentu.
“Petani dilumpuhkan oleh kartel tengkulak. Tapi Negara tidak boleh kalah dengan kartel. Jalan satu-satunya petani ditumbuhkan daya dan kemampuan melalui koperasi”, tutup Arjuna.