JAKARTA, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI), Arjuna Putra Aldino, menyampaikan Manifesto Ekonomi Nasional sebagai respons atas kondisi perekonomian Indonesia yang dinilai sedang dalam tekanan berat.
Dalam pernyataannya, Arjuna menyoroti berbagai indikator makroekonomi yang menunjukkan pelemahan signifikan pada awal tahun 2025.
Penurunan daya beli masyarakat, deflasi yang beruntun, meningkatnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pelemahan kurs rupiah, serta merosotnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan Capital Outflow yang semakin deras menjadi sinyal serius bagi kestabilan ekonomi nasional.
Dalam Manifesto Ekonomi Nasional, GMNI mendesak pemerintah untuk mengevaluasi proyek-proyek berskala besar yang dinilai membebani anggaran negara namun tidak memberikan dampak langsung kepada masyarakat.
“GMNI meminta pemerintah mengevaluasi proyek-proyek mercusuar yang membebani anggaran namun tidak memiliki trickle-down effect kepada rakyat Marhaen,” tegas Arjuna dalam acara Halal Bihalal Keluarga Besar GMNI di Krapu TV, Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (13/4/2025)
Ia juga menekankan pentingnya penghentian pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) kontroversial yang dinilai tidak transparan dan berpotensi memicu instabilitas politik nasional.
GMNI juga menyoroti tekanan dari eksternal, terutama kebijakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang menerapkan tarif perdagangan terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Arjuna mengingatkan bahwa kebijakan tersebut mengingatkan pada efek kebijakan proteksionis era Great Depression tahun 1930-an yang menyebabkan krisis ekonomi global.
“Kebijakan beggar-thy-neighbour seperti yang dilakukan Trump membuka kembali luka lama yang pernah memicu krisis ekonomi dunia,” ujarnya.
GMNI menyerukan pemberantasan state capture corruption dan praktik perburuan rente yang menyebabkan ketimpangan sosial dan ekonomi biaya tinggi.
Arjuna menekankan bahwa pemerintah harus berani menindak tegas aktor-aktor yang merusak sistem ekonomi nasional.
“GMNI meminta pemerintah berani memberantas state capture corruption dan praktik perburuan rente tanpa pandang bulu,” katanya.
Tak hanya itu, GMNI juga menuntut pemerintah memprioritaskan penciptaan lapangan kerja formal. Data yang disampaikan Arjuna menunjukkan penurunan drastis penciptaan lapangan kerja formal dari 15,6 juta pada periode 2009–2014 menjadi hanya 2 juta pada 2019–2024.
“Generasi Z akan menghadapi tantangan lebih besar dibanding generasi sebelumnya dalam memasuki pasar kerja. Jika tidak diantisipasi, Indonesia bisa kehilangan momentum bonus demografi,” jelasnya.
Sebagai bagian dari solusi jangka panjang, GMNI meminta pemerintah untuk melakukan formalisasi terhadap sektor ekonomi informal seperti UMKM dan usaha kecil lainnya.
Menurut Arjuna, pelaku usaha kecil kerap menghadapi berbagai hambatan legalitas, akses keuangan, dan birokrasi.
“Mereka adalah korban dari ketidakadilan sistem ekonomi. Pemerintah seharusnya mendukung mereka agar bisa terlibat aktif dalam perdagangan nasional,” pungkasnya.