Gegara MBG, Harga Ayam Melonjak dan UMKM Tersingkir? 

Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka (kiri) memantau pelaksanaan pemberian Makan Bergizi Gratis (MBG) di SMA Negeri 60 Jakarta, Kemang Timur, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Senin (20/1/2025). ANTARA/HO-BPMI Setwapres.

JAKARTA, Program unggulan pemerintah Makan Bergizi Gratis (MBG) mulai menunjukkan efek samping ekonomi yang mengkhawatirkan. Riset terbaru Center of Economic and Law Studies (Celios) mencatat lonjakan harga pangan, terputusnya rantai pasok lokal, serta menyempitnya ruang gerak pelaku usaha kecil akibat pengadaan bahan pangan terpusat oleh dapur industri besar.

Harga ayam ras segar menjadi indikator utama tekanan di pasar tradisional. Dalam laporan Celios, harga ayam yang sebelumnya sekitar Rp35.000/kg, kini tembus Rp50.000/kg di sejumlah daerah. Sejak awal Juni 2025 saja, harga ayam tercatat naik 9,3%, dari Rp35.066 menjadi Rp38.322 per kilogram. Kenaikan juga terjadi pada ikan kembung (3,2%) dan telur ayam (2,9%), yang merupakan komoditas utama program MBG.

Read More

“Stok ayam di pasar rakyat menipis karena tersedot ke dapur industri MBG. Harga melonjak, dan pelaku UMKM kehilangan ruang gerak. Skema pengadaan MBG harus dievaluasi total,” tegas Media Wahyudi Askar, Direktur Kebijakan Publik Celios.

Sejak peluncuran MBG, jutaan porsi makanan bergizi disiapkan oleh dapur umum berskala besar, yang mendapatkan pasokan langsung dari perusahaan unggas besar melalui kontrak tetap. Skema ini, menurut Celios, meminggirkan peternak kecil dan pedagang ayam di pasar tradisional, yang tidak mampu memenuhi volume dan standar industri.

“Ekonomi rakyat terputus. Peternak kecil tak bisa bersaing, dan pasar tradisional kehilangan daya saing terhadap dapur MBG,” tambah Media.

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menilai program MBG telah menciptakan fenomena “kanibalisme permintaan” antara pasar tradisional dan dapur MBG. Dengan daya beli tinggi, dapur MBG menyerap pasokan besar, menyebabkan kelangkaan di pasar terbuka.

“Mandat ketahanan pangan dijalankan dengan cara yang salah. Ini justru memicu inflasi pangan dan memperlebar ketimpangan ekonomi,” ujar Bhima.

Bhima juga menyoroti penurunan konsumsi protein di rumah tangga berpendapatan rendah akibat harga yang tinggi, sementara pedagang pasar kehilangan pelanggan tetap karena anak-anak kini makan di sekolah lewat MBG.

Bakhrul Fikri, peneliti Celios, menyebut pola distribusi MBG menciptakan insidensi regresif, yakni beban ekonomi justru menimpa kelas menengah bawah.

“Ironinya, MBG tak hanya sempat menyebabkan keracunan massal, tapi kini menekan ekonomi rakyat secara sistemik,” ujarnya.

Nailul Huda, Direktur Ekonomi Celios, mendesak pemerintah menghitung ulang neraca pangan nasional, karena lonjakan permintaan MBG tidak diimbangi peningkatan produksi. Ini yang kemudian menyebabkan ketidakseimbangan suplai dan harga melonjak.

“Kalau pasokan tetap, sementara permintaan naik tajam, harga pasti melesat. Solusinya bisa lewat impor grand parent stock ayam, atau penyesuaian volume MBG agar tak membebani pasar,” ujar Huda.

Celios menegaskan, keberhasilan MBG tidak cukup diukur dari jumlah porsi makanan, tetapi dari sejauh mana program ini menumbuhkan ekonomi lokal tanpa mengganggu stabilitas harga pangan nasional.

“Idealnya MBG melibatkan komunitas lokal, sekolah, dan UMKM. Kalau tetap seperti sekarang, lebih baik program ini dihentikan dulu dan didesain ulang,” tegas Media Wahyudi.

Related posts

Leave a Reply