JAKARTA, Institute of Energy and Development Studies (IEDS) menggelar kegiatan Focus Grup Discussion (FGD) tentang revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba). Acara diskusi sebagai respons atas revisi UU yang menuai pro kontra dalam proses pembuatan maupun substansi perubahan ini, mengusung tema Revisi UU Minerba, Apa Urgensinya?, dan berlangsung di Kekini Cikini, Jakarta Pusat, 10 Februari.
Hadir kelompok mahasiswa dari berbagai perwakilan organisasi mahasiswa, di antaranya Aliansi Front Pengadil Rakyat (FPR), Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Indonesia (PB HMI), Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Indonesia (DPP GMNI), Pimpinan Pusat Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (PP KMHDI), Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI), dan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Mulawarman (BEM Unmul) yang juga mewakili BEM SI.
Pembahasan dalam diskusi ini, menyoroti substansi perubahan di antaranya pemberian izin tambang untuk perguruan tinggi dan organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan. Khususnya pemberian izin tambang secara prioritas kepada perguruan tinggi, dinilai tak sejalan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
“Berbagai isu pembuatan regulasi sektor sumber daya alam selalu cacat terhadap partisipasi maupun transparansi dalam proses pembentukannya. Di tengah-tengah yang seharusnya negara berkonsentrasi terhadap percepatan transisi energi, dari energi fosil ke energi terbarukan, dan perbaikan tata kelola pengelolaan sumber daya alam. Publik dikejutkan dengan proses kilat dan tiba-tiba oleh pembahasan RUU Minerba oleh DPR. Padahal, RUU ini tak masuk prolegnas,” ujar Direktur Eksekutif IEDS Rifqi Nuril Huda.
Kegiatan FGD ini merupakan dipilih sebagai langkah IEDS dalam mendorong perumusan rekomendasi kebijakan terkait isu ini. Khususnya dari kelompok mahasiswa.
“Sebagai lembaga riset dan studi kebijakan sektor energi dan sumber daya alam, IEDS berupaya untuk memberikan dorongan peningkatan partisipasi publik dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Melalui FGD ini kami berharap juga sebagai wadah merumuskan berbagai pemikiran mengenai isu RUU Minerba yang saat ini dibahas,” kata Rifqi.
Hadir sebagai pemantik diskusi,Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tri Hayati, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Aryanto Nugroho dan Koalisi Dosen Tolak Tambang Orin Gusta Andini.
Tri Hayati menyampaikan, perubahan UU Minerba memang diperlukan untuk menyesuaikan regulasi dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun di sisi lain, Tri menegaskan, core utama perguruan tinggi bukan untuk bisnis. “Core utama perguruan tinggi adalah akademik yang mencakup Tri Dharma, bukan bisnis. Jadi jangan sampai kedepan malah terjadi jual beli izin tambang oleh perguruan tinggi karena tidak bisa mengelola”, ujarnya tentang pemberian izin tambang kepada perguruan tinggi.
Sejalan dengan Tri Hayati, Koalisi Dosen Tolak Tambang Orin Gusta Andini juga memberi perspektif tentang pemberian izin tambang untuk perguruan tinggi. “Perguruan tinggi seharusnya menjadi wadah peradaban, tempat ilmu berkembang, bukan ladang bisnis bagi industri ekstraktif. Pengelolaan tambang oleh perusahaan besar telah terbukti merusak lingkungan, merampas ruang hidup masyarakat, dan menciptakan ketimpangan sosial. Tugas utama perguruan tinggi adalah menciptakan dan menyebarluaskan pengetahuan demi kemaslahatan bersama, bukan ikut serta dalam eksploitasi sumber daya alam yang mengorbankan masa depan,” katanya.
Pemantik berikutnya Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional PWYP Indonesia “Pembahasan RUU Minerba terkesan terburu-buru karena tiba-tiba muncul di masa reses tanpa masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Publik pun kesulitan mengakses naskah akademiknya. Ditambah, kondisi dalam hal tata kelola pertambangan apabila RUU ini disahkan, perbedaan antara IUPK, IUP, dan IPR akan tidak jelas karena ditabrak oleh prioritas bagi ormas, perguruan tinggi dan UMKM,” katanya.
Beberapa di antara perwakilan organisasi yang hadir juga memberi pandangan tentang revisi UU Minerba yang kini terus berproses pembahasannya di DPR ini.
Mereka menolak pemberian izin tambang untuk perguruan tinggi dengan sejumlah alasan. Yaitu pemberian izin akan merusak independensi kampus. Kemudian, perguruan tinggi tak memiliki kompetensi yang memadai untuk mengelola tambang, hingga kerusakan lingkungan.
“Kampus tidak tepat untuk diberikan izin tambang. Oleh karena itu kami menolak pemberian izin untuk perguruan tinggi,” ujar perwakilan Aliansi FPR, Dendi.