JAKARTA, Covid-19 telah menghasilkan dampak serius bagi struktur ketenagakerjaan Indonesia, antara lain membesarnya jumlah para pekerja rentan dan informal yang disebut prekariat. Pemerintah perlu mengantisipasi fenomena membesarnya para pekerja informal melalui kebijakan yang dapat meningkatkan produktifitas dan jaminan sosial bagi para pekerja rentan.
Hal ini terungkap dari diskusi yang diselenggarakan oleh SIGMAPHI Policy Reserch dan Data Analysis dan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) bertema Fenomena Prekariat dan Solusinya: Revolusi Mental dan Pancasilanomics, di Jakarta, pada Kamis (3/12).
Data BPS menunjukkan Pandemi Covid-19 telah berdampak terhadap 29,12 juta orang penduduk usia kerja. Di dalamnya, terdapat 24,03 juta orang yang mengalami pengurangan jam kerja, 1,77 juta orang sementara tidak bekerja, dan 2,56 juta orang menjadi pengangguran.
Besarnya dampak pandemi, pada gilirannya telah mendorong kenaikkan tingkat pengangguran terbuka dari 5,23% di Agustus 2019 menjadi 7,07% di Agustus 2020, atau dari 7,10 juta orang menjadi 9,77 juta orang.
Para pekerja rentan di Indonesia tersebut belum termasuk para tenaga kerja yang saat ini berstatus sebagai tenaga ahli daya atau outsourcing dan pekerja yang masih berstatus sebagai pekerja kontrak di sebuah perusahaan.
Dalam diskusi tersebut, Guru Besar IPB Nunung Nuryartono menyampaikan bahwa fenomena prekariat ini perlu untuk dicermati lebih lanjut oleh semua pihak, khususnya pemerintah. “Pandemi Covid-19 telah mengakibatkan adanya informalisasi tenaga kerja kita yang terjadi hampir di seluruh sektor” Tutur Nunung.
Nunung melanjutkan bahwa kenaikan pengangguran, pekerja paruh waktu, pekerja yang berkurang jam kerjanya, hingga masuknya angkatan kerja baru, adalah persoalan yang harus diselesaikan oleh negara melalui penciptaan lapangan kerja secara besar-besaran.
“Ketika hal tersebut tidak diselesaikan secara komprehensif, maka kondisi struktur ketenagakerjaan yang demikian akan segera memperburuk kondisi kemiskinan, ketimpangan, dan dalam beberapa aspek dapat bergerak ke arah kerusuhan sosial atau social unrest” pungkas Nunung.
Anggota Gugus Tugas Nasional Revolusi Mental Kementerian Koordinator PMK, Tri Mumpuni, menjelaskan bahwa, akar persoalan dari fenomena prekariat adalah dipisahkannya sumber daya lokal dari komunitas lokal, sehingga investasi berjalan dengan hanya mengeksploitasi sumber daya yang ada.
“Maka tugas negara dalam kerangka Revolusi Mental dan Pancasilanomics adalah memastikan investasi yang berjalan harus menyatukan sumber daya lokal dan komunitas lokal agar masyarakat dapat sejahtera, berdaya hidup mandiri, serta bermartabat, serta mengalokasikan subsidi negara dengan tepat sasaran,”, papar Tri.
Lebih lanjut, Dosen Fisipol Unair Airlangga Pribadi menjelaskan fenomena prekariat adalah hasil nyata dari praktik ekonomi pasar bebas atau neoliberalisme yang berdampak pada munculnya kelompok masyarakat yang hidup dalam kondisi ketidakpastian atau rentan melalui sistem pasar bebas tenaga kerja yang disebut pasar tenaga kerja fleksibel atau ‘labor market flexibility’.
“Pancasila musti ditempatkan sebagai metode historis dan praksis untuk menyelesaikan persoalan struktural, seperti neoliberalisme dan oligarki yang menghasilkan kelas prekariat”, terang Airlangga.
Diskusi tersebut dihadiri oleh para mahasiswa, praktisi, dan profesional secara online atau daring maupun tatap muka di sebuah hotel dengan menerapkan protokol kesehatan. Diskusi tersebut dilengkapi dengan pelatihan menulis opini kepada para peserta yang ingin mengembangkan gagasan tentang ekonomi Pancasila atau Pancasilanomics.