JAKARTA – Menteri Kebudayaan Fadli Zon memicu kontroversi usai mempertanyakan klaim adanya pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998. Dalam wawancara di kanal YouTube IDN Times, Kamis (12/6/2025), Fadli menyebut belum pernah ada bukti konkret yang bisa dipertanggungjawabkan secara historis terkait kekerasan seksual massal terhadap perempuan, khususnya etnis Tionghoa, dalam kerusuhan tersebut.
“Nah, ada perkosaan massa betul, enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Enggak pernah ada proof (bukti-red). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan,” tegas Fadli.
Pernyataan tersebut muncul di tengah polemik penulisan ulang buku sejarah nasional, yang menurut kritik publik mengabaikan narasi korban perempuan dalam tragedi 1998.
Meski meragukan aspek kekerasan seksual massal dalam peristiwa tersebut, Fadli menegaskan dirinya mendukung penguatan narasi sejarah perempuan dalam konstruksi kebangsaan.
“Malah saya ikut mendorong. Sejarah perempuan itu diperkuat,” ujarnya.
Namun ia menggarisbawahi bahwa penulisan sejarah harus berpijak pada bukti yang dapat diverifikasi, bukan rumor yang berpotensi memecah belah bangsa.
“Kalau itu, menjadi domain pada isi dari sejarawan. Apa yang terjadi? Kita enggak pernah tahu ada enggak fakta keras. Kalau itu kita bisa berdebat,” kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu.
Fadli juga menanggapi hasil Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang pernah dibentuk untuk menyelidiki tragedi tersebut. Ia mengaku pernah menyanggah temuan tim itu karena dinilai tidak cukup kuat secara evidensial.
“Saya sendiri pernah membantah itu. Dan mereka tidak bisa buktikan,” ujarnya.
Menurut Fadli, sejarah Indonesia sebaiknya disusun dengan pendekatan yang menyatukan dan mengedepankan perspektif nasional.
“Sejarah yang kita buat ini adalah sejarah yang bisa mempersatukan bangsa. Dan tone-nya harus begitu,” katanya.
Menutup pernyataannya, Fadli menegaskan bahwa sejarah harus ditulis secara jujur namun tetap berpijak pada semangat kebangsaan.
“Makanya perspektifnya, perspektif Indonesia,” pungkasnya.
Pernyataan Fadli ini mendapat tanggapan beragam dari publik, terutama dari kalangan aktivis HAM dan korban yang selama ini memperjuangkan keadilan serta pengakuan negara atas tragedi kemanusiaan tersebut.