Evaluasi Kabinet: Mengurai Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pemerintahan Presiden Prabowo

Ilustrasi, Presiden RI Prabowo Subianto dan Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka berfoto bersama para menteri dan pejabat setingkat menteri di Kabinet Merah Putih usai pelantikan di halaman Istana Merdeka Jakarta, Senin (21/10/2024). (ANTARA/Rangga Pandu Asmara Jingga)

Oleh: Rikky Affandy Daulay, S.I.P

Presiden Prabowo Subianto, dalam Sidang Kabinet Paripurna perdananya pada 23 Oktober 2024, menegaskan komitmennya untuk mengevaluasi kinerja kabinet dalam enam bulan pertama pemerintahannya. Namun, baru dua bulan berjalan, Miftah Maulana Habiburrahman, Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama, mengundurkan diri setelah tersandung kontroversi. Kejadian ini kembali memantik perdebatan lama tentang efektivitas dan transparansi sistem evaluasi kabinet.

Read More

Dalam konteks demokrasi, reshuffle kabinet adalah fenomena yang tak terhindarkan. Namun, sering kali langkah ini dianggap sebagai proses elitis, minim transparansi, dan sarat dengan pertimbangan politik. Sebagai kepala pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyat, presiden memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk menjadikan evaluasi kabinet sebagai instrumen akuntabilitas publik, bukan sekadar langkah administratif.

Dalam teori sistem presidensial, presiden memiliki hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan anggota kabinet. Hak ini dijelaskan oleh Walter Bagehot dalam The English Constitution, yang menyebut bahwa eksekutif memiliki kebebasan penuh untuk memilih pembantunya. Namun, dalam negara demokrasi modern, hak prerogatif ini tidak bisa berdiri sendiri tanpa akuntabilitas.

Menurut konsep delegated accountability yang dikemukakan oleh Friedrich Hayek, pejabat publik, termasuk presiden, harus bertanggung jawab kepada rakyat atas setiap keputusan yang diambil. Oleh karena itu, meskipun hak prerogatif adalah kewenangan presiden, transparansi dalam pengambilan keputusan menjadi penting untuk menjaga legitimasi pemerintahan.

Dalam praktiknya, reshuffle kabinet sering dilakukan tanpa penjelasan yang jelas mengenai alasan penggantian. Hal ini tidak hanya melemahkan prinsip akuntabilitas, tetapi juga membuka ruang spekulasi yang merugikan kredibilitas pemerintah.

Indonesia telah berkali-kali menghadapi reshuffle kabinet yang memicu kritik. Pada era Kabinet Kerja Jokowi-Jusuf Kalla (2014-2019), beberapa menteri diganti dalam waktu singkat tanpa penjelasan memadai. Luhut Binsar Pandjaitan, misalnya, hanya menjabat 11 bulan sebagai Menko Polhukam sebelum digantikan oleh Wiranto. Pergantian ini terjadi tanpa indikator kinerja yang jelas, sehingga publik bertanya-tanya tentang alasan sebenarnya.

Menurut teori public choice oleh James Buchanan, keputusan pemerintah sering kali dipengaruhi oleh kepentingan politik daripada kepentingan publik. Dalam konteks reshuffle kabinet, keputusan yang tidak transparan cenderung memperkuat asumsi bahwa pergantian pejabat didasarkan pada kepentingan kelompok tertentu, bukan pada evaluasi objektif.

Salah satu solusi untuk memperbaiki evaluasi kabinet adalah penerapan Key Performance Indicators (KPI) yang terukur dan transparan. Konsep ini selaras dengan pendekatan performance management dalam teori administrasi publik, di mana efektivitas kebijakan diukur berdasarkan hasil yang dapat diobservasi.

KPI kabinet harus dirancang untuk menilai kinerja menteri secara objektif, mencakup indikator seperti efektivitas kebijakan, efisiensi anggaran, dan dampak sosial. Lebih penting lagi, hasil evaluasi ini perlu dipublikasikan secara berkala kepada publik. Langkah ini tidak hanya memperkuat prinsip checks and balances, tetapi juga memungkinkan masyarakat berperan aktif dalam mengawasi pemerintahan.

Sebagai contoh, di Selandia Baru, hasil kinerja kementerian dipublikasikan melalui laporan tahunan yang dapat diakses oleh masyarakat. Pendekatan ini mencerminkan prinsip keterbukaan informasi yang menjadi landasan negara demokrasi modern.

Membangun Kepercayaan Publik Melalui Keterbukaan

Dalam teori social contract yang diperkenalkan oleh Jean-Jacques Rousseau, pemerintah mendapatkan mandat dari rakyat untuk menjalankan kekuasaan atas dasar kepercayaan. Jika pemerintah gagal menunjukkan transparansi dan akuntabilitas, kepercayaan publik akan terkikis, yang pada akhirnya melemahkan legitimasi pemerintah.

Presiden Prabowo memiliki peluang besar untuk menjadikan evaluasi kabinet sebagai langkah strategis dalam memperkuat tata kelola pemerintahan. Dengan membuka hasil evaluasi kepada publik, pemerintah dapat membangun narasi yang positif tentang komitmennya terhadap reformasi birokrasi dan tata kelola yang baik (good governance).

Selain itu, reshuffle yang didasarkan pada KPI yang jelas akan mengurangi spekulasi negatif dan memperbaiki persepsi publik terhadap pemerintah. Dalam jangka panjang, langkah ini dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.

Evaluasi kabinet adalah lebih dari sekadar pergantian pejabat. Ini adalah cerminan dari komitmen pemerintah terhadap transparansi, akuntabilitas, dan responsivitas terhadap aspirasi rakyat. Dalam era keterbukaan informasi, publik memiliki hak untuk mengetahui sejauh mana pemerintah menjalankan tugasnya dengan baik.

Presiden Prabowo Subianto dapat mencatatkan sejarah baru dengan memperkenalkan sistem evaluasi kabinet yang berbasis pada KPI yang transparan dan terukur. Langkah ini tidak hanya akan memperkuat legitimasi pemerintahannya, tetapi juga menjadi warisan penting bagi demokrasi Indonesia.

Seperti yang dikatakan oleh John Stuart Mill, “The worth of a state in the long run is the worth of the individuals composing it.” Dengan menjadikan evaluasi kabinet sebagai instrumen akuntabilitas, pemerintah tidak hanya menilai pejabatnya, tetapi juga membangun negara yang lebih baik untuk rakyatnya.

Related posts

Leave a Reply