JAKARTA, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah mengevaluasi kemungkinan penerapan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) untuk komoditas emas. Langkah ini dilakukan menyusul tingginya ekspor emas oleh sejumlah perusahaan tambang, sementara di sisi lain PT Aneka Tambang Tbk (Antam) masih harus mengimpor emas dalam jumlah besar guna memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Tri Winarno mengatakan, rencana penerapan DMO emas masih dalam tahap pembahasan internal dan belum ada keputusan resmi dari pemerintah.
“Belum, belum. Belum ada update,” kata Tri saat ditemui di Kementerian ESDM, dikutip Selasa (11/11/2025).
Tri menjelaskan, pemerintah mendukung upaya menjaga ketersediaan pasokan emas nasional. Namun, kebijakan DMO harus mempertimbangkan kesiapan produksi dalam negeri, termasuk potensi pasokan emas dari PT Freeport Indonesia (PTFI) setelah tambangnya di Tembagapura, Papua Tengah, kembali beroperasi.
Seperti diketahui, tambang Freeport saat ini masih berhenti akibat insiden longsoran material basah di tambang bawah tanah Grasberg Block Cave (GBC) pada 8 September 2025 lalu. Kondisi ini membuat pasokan bahan baku untuk pabrik emas Precious Metal Refinery (PMR) di Gresik, Jawa Timur, terhenti sementara.
“Prinsipnya kita oke. Tapi nanti kalau Freeport sudah main (beroperasi), apakah kita mesti ganti regulasinya,” ujar Tri.
Sebelumnya, Direktur Utama Antam Achmad Ardianto mengungkapkan bahwa perusahaan masih melakukan impor emas dalam jumlah besar karena pasokan domestik belum mencukupi. Dari total kebutuhan puluhan ton per tahun, Antam baru mampu memproduksi sekitar 1 ton emas per tahun.
“Maka Antam masuk ke opsi ketiga, yaitu membeli sourcing emas dari luar negeri. Impor emas judulnya,” kata Achmad dalam RDP bersama Komisi VI DPR RI, Senin (29/9/2025).
Ia menegaskan bahwa seluruh impor dilakukan dari perusahaan yang terafiliasi dengan London Bullion Market Association (LBMA), baik bullion bank, refinery, maupun trader internasional.
Lebih lanjut, Antam menargetkan agar produk Logam Mulia menjadi ikon emas nasional. Saat ini, merek tersebut telah menguasai sekitar 78% pangsa pasar emas ritel di Indonesia.
“Tujuan utamanya adalah bagaimana merek logam mulia yang notabene adalah logam merek negara ini bisa kita mantapkan sebagai kebanggaan Indonesia. Emasnya dari Indonesia, diolah di Indonesia, dan dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia,” ujarnya.
Sebagai langkah pengurangan impor, Antam telah menjalin kerja sama dengan Freeport untuk menyerap produksi emas dari pabrik PMR di Gresik. Pada November 2024 lalu, Antam menandatangani perjanjian jual beli emas sebanyak 30 ton dengan nilai kontrak mencapai US$ 12,5 miliar atau sekitar Rp 200 triliun selama lima tahun.
Perjanjian tersebut diharapkan dapat menghemat devisa negara hingga ratusan triliun rupiah. Antam menargetkan bisa menyerap hingga 9 ton emas dari pabrik Freeport hingga akhir 2025.







