Oleh: Hasan Ashari
Mahasiswa Program Doktoral Perbanas Institute
Indonesia adalah negeri yang kaya raya “gemah ripah loh jinawi” dengan sumber daya alam, termasuk akan sumber daya energi baru dan terbarukan (EBT), mulai dari tenaga surya, air, angin, bioenergi, hingga panas bumi. Potensi ini tersebar luas di berbagai daerah dari Sabang sampai Merauke, namun ironisnya, hingga kini kontribusi EBT terhadap bauran energi nasional masih rendah, yakni sekitar 13% (data tahun 2023), sementara target pada tahun 2025 adalah sebesar 23% yang ditetapkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Di tengah krisis iklim dan kebutuhan energi yang “meroket”, pemerintah daerah sudah selayaknya memainkan peran strategis sebagai pusat inovasi dan implementasi energi hijau. Namun sayangnya, sebagian besar pemerintah daerah masih bergantung pada kebijakan pemerintah pusat dan belum memanfaatkan potensi EBT secara optimal. Padahal, pemanfaatan EBT secara serius tidak hanya akan membantu transisi energi nasional, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah masing-masing secara langsung maupun tidak langsung.
Manfaat Ekonomi yang Nyata
Pemanfaatan EBT di daerah dapat menciptakan efek berantai (multiplier effect) terhadap ekonomi lokal. Menurut studi IESR (Institute for Essential Services Reform), pengembangan energi surya skala desa dapat menciptakan 25-30 lapangan kerja baru per MW, mulai dari sektor teknisi, perawatan, manufaktur, hingga edukasi energi. Dalam proyek percontohan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) di Sumba Timur, NTT, pemanfaatan EBT telah berhasil menurunkan biaya listrik masyarakat hingga 40% dan meningkatkan produktivitas usaha kecil yang sebelumnya tidak terjangkau listrik.
Selain itu, potensi EBT juga membuka peluang ekonomi baru berbasis komunitas. Di daerah dengan potensi bioenergi (seperti limbah pertanian dan peternakan), EBT bisa mendukung ekonomi sirkular. Misalnya, pemanfaatan biogas dari limbah kotoran ternak di Banyumas telah menghemat pengeluaran energi rumah tangga hingga Rp150.000,00 per bulan per keluarga, dan berdampak positif terhadap kesehatan serta kualitas lingkungan.
Tanggung Jawab Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah memiliki kewenangan dan sumber daya untuk memanfaatkan potensi ini. Hal ini ditegaskan dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan mandat kepada pemerintah daerah untuk mengelola sektor energi dan sumber daya mineral. Namun, dibutuhkan political will dan keberanian mengambil inisiatif.
Pemerintah pusat telah berkomitmen untuk mengembangkan EBT. Salah satu komitmen itu ditunjukkan dalam kunjungan, Menteri ESDM Bahlil Lahadia ke Brasil (Juli 2025). Bahlil menyatakan bahwa Indonesia memfokuskan pada penguatan bioenergi. Indonesia akan belajar dari pengalaman Brasil sebagai produsen biofuel terbesar kedua dunia, dan menyatakan bahwa model yang dilakukan Brazil tersebut relevan untuk mendukung transisi energi inklusif di Indonesia, khususnya dalam membuka lapangan kerja serta mengurangi ketergantungan terhadap impor energi fosil.
Selain itu, Bahlil juga menyampaikan rencana ambisius pemerintah untuk mempercepat ekspansi pembangkit energi baru. Dalam RUPTL PLN 2025–2034, disebutkan akan ada tambahan kapasitas listrik sebesar 71 GW, dengan 70 % kapasitasny berbasis energi terbarukan seperti surya, angin, serta opsi hydrogen atau nuklir. Pembangunan pembangkit energi baru itu 60 % biaya ditanggung oleh swasta. Ekspansi ini dilakukan untuk menyelaraskan dengan strategi presiden dalam mencapai pertumbuhan ekonomi 8% per tahun dan penghapusan PLTU berbahan bakar fosil dalam 15 tahun ke depan.
Estimasi Manfaat Nasional
Estimasi manfaat secara nasional jika seluruh kabupaten/kota di Indonesia (514 daerah) mengembangkan EBT minimal 5 MW per daerah (kombinasi surya, mikrohidro, dan biogas), maka akan terdapat potensi 2.570 MW energi bersih, yang setara mencukupi listrik untuk sekitar 2,5 juta rumah tangga. Dengan penghematan listrik rata-rata Rp100.000 per bulan per keluarga, potensi manfaat ekonomi langsung bisa mencapai Rp3 triliun per tahun. Selain itu, penurunan emisi karbon bisa mencapai 2,1 juta ton CO₂ per tahun, berkontribusi pada komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris.
Tantangan: Regulasi dan Pendanaan
Setelah kita bicarakan manfaat dan potensi, ternyata banyak tantangan yang dialami oleh pemerintah daerah dalam mendorong proyek EBT karena: masih adanya ketergantungan pada pendanaan pusat, rumitnya proses perizinan dan belum adanya kepastian harga jual listrik (feed-in tariff), lemahnya kapasitas teknis dan SDM di tingkat daerah dan minimnya insentif fiskal untuk proyek EBT skala kecil.
Tantangan di atas menyebabkan peran daerah dalam pengembangan EBT masih terbatas karena kebijakan energi sebagian besar masih tersentralisasi. Padahal daerah bisa jadi pionir dalam integrasi energi dengan kebijakan pembangunan lokal.
Rekomendasi: Desentralisasi Energi untuk Keadilan Iklim
Untuk mengatasi tantangan yang dihadapi yang disebutkan di atas dan agar transisi energi benar-benar adil serta menjangkau semua lapisan di daerah, pemerintah perlu mendorong desentralisasi energi melalui revisi UU Ketenagalistrikan, memberikan dana insentif daerah (DID) untuk proyek energi bersih berbasis masyarakat, menyediakan program pelatihan dan pendampingan teknis EBT untuk ASN dan pelaku usaha di daerah, dan membuka ruang partisipasi publik melalui koperasi energi terbarukan dan skema energi berbasis desa.
Sebagai penutup, pemanfaatan EBT di daerah bukan hanya isu lingkungan, tetapi isu kesejahteraan dan keadilan energi. Saat ini, yang dibutuhkan adalah sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat lokal. Ketika daerah mulai memimpin transisi energi, rakyat dan tumpah darah Indonesia tidak hanya akan lebih hijau, tapi juga lebih makmur dan berdaulat secara energi. Semoga!