JAKARTA, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengakui adanya kesalahan dalam strategi kebijakan fiskal dan moneter yang dijalankan oleh pemerintah sebelumnya. Kesalahan tersebut dinilai menjadi pemicu utama tertekannya likuiditas uang di dalam negeri selama periode 2023 hingga pertengahan 2025.
Purbaya menyoroti bagaimana keterlambatan dalam realisasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta penumpukan dana pemerintah di Bank Indonesia (BI) turut memperparah kondisi. Padahal, di sisi lain, pemerintah tetap agresif dalam menarik pajak dari masyarakat.
“Pemerintah karena terlambat membelanjakan anggaran, uangnya kan tetap di bank sentral. Rajin narik pajak enggak apa-apa kalau dibelanjakan lagi, tapi kan enggak. Kita santai-santai, kering sistemnya,” kata Purbaya dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, Kamis (11/9).
Kondisi pengetatan likuiditas ini terlihat jelas dalam data uang beredar. Setelah tumbuh hingga 7% pada April 2025, peredaran uang di masyarakat anjlok drastis dan menyentuh 0% pada Agustus 2025.
Purbaya mengungkapkan bahwa tekanan likuiditas ini sempat memuncak pada Mei 2025, seiring dengan lambatnya aliran belanja pemerintah dan lemahnya dorongan dari sektor moneter.
Menanggapi kondisi tersebut, Purbaya menegaskan komitmennya untuk segera mengaktifkan kembali “dua mesin” utama perekonomian: fiskal dan moneter. Salah satu langkah konkret yang disiapkan adalah mengalirkan dana pemerintah yang selama ini tertahan di Bank Indonesia.
“Saya sekarang punya Rp425 triliun cash di BI. Besok saya taruh Rp200 triliun ke sistem perekonomian,” tegasnya.
Dana tersebut merupakan bagian dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan Sisa Lebih Pembayaran Anggaran (SiLPA) yang hingga kini belum dioptimalkan. Rencana penggelontoran dana ini diharapkan mampu menggerakkan kembali roda perekonomian nasional dan memperbaiki kondisi likuiditas.
Purbaya juga menyatakan telah melapor kepada Presiden dan akan meminta restu parlemen untuk merealisasikan kebijakan tersebut dalam waktu dekat.
Lebih lanjut, Purbaya optimistis bahwa perekonomian Indonesia dapat tumbuh hingga 6%, asalkan sektor swasta diberi ruang untuk memimpin dan didukung dengan kebijakan fiskal yang ekspansif.
“Kita harus hidupkan dua mesin itu. Pemerintah jangan cuma narik pajak, tapi juga harus belanja. Swasta harus diberi ruang untuk memimpin pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Dengan langkah korektif ini, diharapkan ekonomi Indonesia dapat segera keluar dari tekanan dan kembali tumbuh secara berkelanjutan pada akhir 2025 hingga 2026.