JAKARTA, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Kapolri yang baru terpilih, berkomitmen untuk memberantas mafia tanah di Indonesia. Komitmen Kapolri itu, menurut Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (Sekjen DPP GMNI), Muhammad Ageng Dendy Setiawan, perlu didukung dan dikawal.
Untuk diketahui, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo ingin mengungkap aktor intelektual mafia tanah diungkap dan diproses secara hukum. Sebab, menurut pernyataannya yang dikutip beberapa portal berita, masalah tersebut juga menjadi perhatian Presiden Joko Widodo.
“Karena masalah mafia tanah menjadi perhatian Bapak Presiden, saya minta untuk jajaran tidak perlu ragu proses tuntas, siapapun ‘bekingnya’,” kata Listyo dalam keterangan resmi, Kamis (18/2/2021).
Sehingga, Listyo meminta para penyidik bekerja secara maksimal untuk memproses para pelaku. Karena, baginya Korps Bhayangkara harus berpihak kepada masyarakat. Untuk diketahui saja, pada tahun 2020 kemarin, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri telah menindak puluhan perkara mafia tanah. Dan delapan kasus yang lainnya, masuk dalam tahap penyelidikan.
Sekjend DPP GMNI, Muhammad Ageng Dendy Setiawan, menuturkan, jika diperlukan GMNI siap bergerak bersama untuk membela, dan membongkar mafia tanah di Indonesia. Menurut dia, persoalan tanah seakan tak pernah selesai di bumi Nusantara.
“Kalau memang komitmennya begitu, kita perlu dukung. Karena persoalan tanah di Indonesia dari dulu tidak pernah tuntas. Selalu aja ada masalah yang berkaitan dengan agraria,” tuturnya dalam keterangan rilis, Kamis (18/2/2021).
Dendy mendorong, pihak yang berwenang seperti Kepolisian dan Badan Pertanahan Nasional (BPN), memantau persoalan tanah dari hulu hingga ke hilir.
“Ya dimulai dari kemudahan mengurus sertfikat tanah, dan kepemilikannya. Karena kalau di daerah-daerah, banyak tanah yang belum bersertifikat. Sementara masyarakat, banyak yang belum paham bagaimana cara mengurus sertifikat kepemilikan. Sehingga, ini menjadi peluang bagi para mafia untuk main serobot,”terang alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya ini.
Selain itu, Dendy juga menyinggung persoalan agraria di Indonesia, yang mana menurut dia, hanya menyentuh bagian luar saja. Bukan tanpa alasan, baginya, pembahasan akan persoalan agraria hanya berkutat pada legalitas aset dan sertfiikasi, serta nominal penggantian tanah. Sementara ketimpangan penguasaan tanah antara masyarakat dengan koorporasi tidak pernah dibahas.
Rusak dan hilangnya tanah, hutan, sumber mata air, hingga ruang lingkup dan budaya masyarakat, seakan selesai dengan pemenuhan ganti rugi. “Bisa dilihat, jika ada konflik agraria yang berkaitan antara masyarakat dengan korporat, selesai dengan urusan ganti rugi saja. Sedangkan nilai-nilai tanah sebagai sumber penghidupan, budaya, bisa ditukar dengan persoalan nominal saja. Padahal kan tidak begitu,” imbuhnya.
“Sedangkan jika memang mau diukur dengan nominal saja, kerusakan yang ditimbulkan dari korporasi, nilainya jauh lebih besar dari sejumlah nominal ganti rugi itu,” tutupnya.