Dugaan Korupsi Migas di Pertamina: Momentum Perbaikan Tata Kelola atau Sekadar Ganti Mafia?

Tersangka kasus korupsi tata kelola minyak mentah (Kejagung)

JAKARTA, Kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina yang tengah ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung) menjadi sorotan publik. Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, koalisi masyarakat sipil yang fokus pada transparansi dan akuntabilitas sektor energi dan sumber daya alam (SDA), menilai kasus ini sebagai bukti lemahnya tata kelola minyak dan gas (migas) nasional selama satu dekade terakhir.

Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Aryanto Nugroho, menegaskan bahwa pengungkapan kasus ini harus menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola migas secara menyeluruh, termasuk aspek tata niaganya. Ia mendesak Kejagung agar tidak hanya berhenti pada tersangka yang telah ditetapkan, tetapi juga mengusut seluruh aktor yang terlibat.

Read More

“Dugaan korupsi ini berlangsung di sepanjang rantai pasok migas dari 2018 hingga 2023. Ada indikasi pengondisian Rapat Optimasi Hilir (OH) untuk menurunkan produksi kilang dalam negeri agar lebih banyak impor minyak mentah dan produk kilang. Selain itu, ada dugaan mark-up kontrak pengiriman serta praktik blending bahan bakar yang merugikan negara,” ujar Aryanto.

Menurutnya, Kejagung perlu mengusut ke mana aliran dana dari dugaan mark-up dan kickback yang terjadi. “Jangan sampai ini hanya menjadi kasus besar dengan nilai korupsi fantastis, tetapi akhirnya tidak bisa ditelusuri siapa saja penerima manfaatnya,” tambahnya.

PWYP Indonesia juga menyoroti perlunya reformasi tata kelola migas secara sistematis dan integral. Jika tidak dilakukan, kasus ini hanya akan mengganti satu mafia migas dengan mafia lainnya.

Sejak satu dekade lalu, Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM) yang diketuai mendiang Faisal Basri telah mengeluarkan sejumlah rekomendasi untuk memperbaiki sistem migas nasional, antara lain:

  • Menghentikan impor RON 88 dan menggantinya dengan Mogas 92
  • Menata ulang mekanisme penjualan dan pengadaan minyak mentah serta BBM
  • Membubarkan Petral dan melakukan audit forensik
  • Menetapkan harga BBM secara transparan
  • Melakukan pembaruan kilang lama dan membangun kilang baru

Namun, banyak dari rekomendasi tersebut yang tidak dijalankan. Sebaliknya, pemerintah justru memperkenalkan Ron 90, mengabaikan audit forensik Petral, serta gagal membangun kilang baru yang cukup. Akibatnya, impor minyak terus meningkat dalam satu dekade terakhir, subsidi BBM membebani APBN, dan mafia migas terus menikmati keuntungan besar.

“Kami menduga ada kepentingan tertentu agar Indonesia terus bergantung pada impor minyak, memanfaatkan subsidi BBM, dan memperpanjang peluang rente ekonomi bagi mafia migas,” tegas Aryanto.

PWYP Indonesia juga menyoroti rendahnya transparansi dalam sektor migas. Berdasarkan laporan Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) tahun 2024, Indonesia hanya memperoleh skor 67 dari 100, dengan nilai transparansi paling rendah, yakni 63,5.

Laporan EITI 2018 juga mengungkap bahwa 80% transaksi perdagangan komoditas migas di Indonesia tidak dimasukkan dalam laporan transparansi perdagangan. Ini menunjukkan masih banyak data yang belum dibuka kepada publik, termasuk ekspor dan impor minyak.

“Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, dan PT Pertamina harus segera membenahi transparansi dan akuntabilitas tata kelola migas. Ini klise, tetapi sangat mendesak!” kata Aryanto.

Saat ini, publik dihadapkan pada kebingungan akibat perdebatan terkait istilah blending dan oplosan BBM. Perbedaan pendapat antara Kejagung, Pertamina, dan DPR RI mengenai praktik pengolahan bahan bakar, khususnya perbedaan antara RON 90 dan RON 92, semakin memperkeruh keadaan.

PWYP Indonesia mendesak pemerintah, Pertamina, dan lembaga terkait untuk menjelaskan secara gamblang bagaimana mekanisme pengadaan minyak, blending BBM, pengapalan, serta distribusi subsidi BBM agar masyarakat tidak terjebak dalam asimetri informasi.

“Jika transparansi tidak ditingkatkan, reformasi tata kelola migas hanya akan menjadi ilusi. Pemerintah harus memastikan bahwa perbaikan sistemik dan integral dilakukan untuk menghapus praktik rente dan mafia migas yang telah bertahan bertahun-tahun,” tutup Aryanto.

Related posts

Leave a Reply