JAKARTA, Komisi VII DPR RI kembali menggelar rapat kerja (raker) dengan Kementerian Pariwisata (Kemenpar). Agenda kali ini fokus membahas Revisi Undang – Undang (RUU) Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
Raker yang dihadiri langsung oleh Menteri Pariwisata (Menpar) Widiyanti Putri Wardhana dan Wakil menteri pariwisata (Wamenpar) Ni Luh Puspa itu digelar di ruang Rapat Komisi VII DPR RI, Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta.
Harapannya dengan dengan adanya UU Kepariwisataan yang baik maka tata kelola pariwisata di Indonesia juga bisa lebih maju.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Lamhot Sinaga yang hadir dalam raker tersebut berkali-kali menegaskan soal perlunya perbaikan kelembagaan dalam tata kelola pariwisata.
Menurutnya, sebuah tata kelola yang baik tentu harus ditopang oleh regulasi kelembagaan yang kuat. Tujuannya agar koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah lebih efektif.
“Sudah saatnya kita memperbaiki sistem tata kelola pariwisata di Indonesia. Agar tidak selalu kalah dengan negara tetangga, seperti Malaysia,” ujar Lamhot saat di raker Pembicaraan Tingkat I/Pembahasan Perubahan RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 di ruang rapat, Selasa, (11/03/2025).
Lamhot juga menuturkan, kelembagaan yang kuat dapat meningkatkan efisiensi pengelolaan sektor pariwisata nasional.
“Sebab jika lembaga berjalan tanpa aturan yang tepat, koordinasi antara berbagai pemangku kepentingan bisa terhambat,” jelasnya.
Oleh karena itu, dibutuhkan sinergi yang kuat dan efektif antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat.
“Dalam regulasi yang tepat dan kuat itulah yang menjadi payung bagi semua pihak yang berperan dalam industri pariwisata. Jadi semua pihak memiliki peran yang jelas,” tuturnya.
Lamhot yang merupakan Ketua DPP Golkar itu juga menyoroti ketidaksesuaian Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) di RUU Kepariwisataan ini.
“Ada beberapa poin dalam DIM tidak relevan dengan RUU Nomor 10 Tahun 2009,” ujarnya.
Karena itu, pemerintah perlu lebih teliti dalam menyusun daftar tersebut agar tidak menimbulkan kegamangan dan kebingungan.
“Tentunya ini harus diselaraskan, sebab jika tidak diselaraskan, regulasi yang dihasilkan bisa bertentangan dengan kebutuhan industri pariwisata,” tutupnya.