JAKARTA, Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) angkat bicara terkait revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas yang rencananya akan dibahas tahun depan. Meski tak masuk prolegnas 2022, RUU ini masuk dalam daftar kumulatif terbuka.
Menurut Ketua Bidang Medpro DPP GMNI Ariyansah NK, revisi UU Migas memang harus segera dilakukan, menyesuaikan dengan putusan MK dan kondisi investasi di sektor migas.
“RUU Migas oleh DPR dalam acara diskusi oleh SKK Migas beberapa hari lalu, masuk dalam daftar RUU Kumulatif Terbuka. Dan rencananya akan dibahas di 2022. Ini rencana yang baik, dalam rangka memperkuat kepastian hukum pasca putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2012 tentang UU Migas itu,” kata Ariyansah NK dalam keterangan tertulisnya kepada awak media, Sabtu (18/12/2021).
Dikatakan Ariyansah, dorongan pembahasan dan pengesahan RUU Migas salah satunya dalam rangka memberikan kepastian hukum di sektor hulu migas. Dengan harapan dapat meningkatkan investasi di sektor ini, yang menurun beberapa tahun terakhir.
Berkaitan dengan peningkatan investasi, tentu erat dengan pemberian kemudahan dalam hal perizinan dan pembagian hasil migas yang fleksibel.
“Yang ingin DPP GMNI tekankan, jangan sampai tujuannya untuk menarik investasi, justru dilakukan dengan cara menggerus atau mendegradasikan kedaulatan negara. Ini yang menjadi tantangan. Bagaimana pembagian hasil migas tetap berpihak pada negara, dan investasi dapat tumbuh subur di dalamnya, ini yang harus dipecahkan bersama,” ujar mantan ketua DPC GMNI Balikpapan itu.
Sistem pembagian hasil migas saat ini, menurut Ariyansah, cukup ideal. Dan masih relevan untuk dipertahankan dan dilaksanakan. “Apalagi, sistem bagi hasil PSC punya nilai historis,” ungkapnya.
Selain hubungan investasi dan sistem bagi hasil migas, hubungan investasi dan tata kelola migas juga menjadi perhatian DPP GMNI. Dalam hal ini, sistem tata kelola yang dikenal dengan istilah tiga kaki, dinilai ideal untuk diterapkan di Indonesia.
Istilah tata kelola tiga kaki, memisahkan tiga fungsi. Yakni fungsi kebijakan oleh pemerintah pusat, fungsi regulator oleh badan khusus dan fungsi bisnis oleh BUMN, dalam hal ini Pertamina. Yang semuanya berdiri di atas penguasaan sumber daya alam oleh negara.
“Pendapat MK pada putusan nomor 36/PUU-X/2012, negara dapat membentuk badan usaha yang diberikan konsesi untuk mengelola migas. Sehingga penguasaan ada di pemerintah. Dalam hal pengusahaan, oleh badan usaha khusus yang dibentuk tersebut. Sekarang ini kan ada SKK Migas, itu saja yang diubah menjadi badan usaha,” katanya.
DPP GMNI juga menyoroti soal pajak karbon untuk sektor migas. Hal ini, perlu diatur juga dalam RUU Migas sebagai bentuk penegasan. Meski tentang pajak karbon telah diatur dalam UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
“Bila perlu, dibuat badan khusus yang mengelola pajak karbon ini. Bisa juga diserahkan ke badan usaha khusus tersebut. Yang kemudian hasil pajak ini diperuntukkan untuk mendukung transisi energi menuju energi terbarukan,” tutur Ariyansah, yang juga koordinator nasional Forum Energi Nasional Indonesia (FENI) itu.
Diketahui, Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas mengatakan meski RUU Migas tak masuk menjadi daftar RUU Prolegnas 2022, namun RUU ini akan dibahas di tahun tersebut. Karena walau tak masuk prolegnas, RUU ini masuk dalam daftar RUU Kumulatif Terbuka.