JAKARTA, Anggota Komisi III DPR RI, Dewi Juliani, angkat bicara terkait perkembangan terbaru kasus kematian Brigadir Muhammad Nurhadi di Gili Trawangan, Lombok Utara. Dewi menekankan pentingnya penanganan secara transparan, akuntabel, dan menyeluruh, demi menjaga kepercayaan publik terhadap institusi Polri.
“Seharusnya dengan adanya kematian, hasil forensik dan bukti lainnya, kasus ini sudah berada dalam tahap penyidikan, bukan penyelidikan lagi,” tegas Dewi Juliani dalam keterangan persnya, Jakarta, Jumat (11/7).
Kasus ini mencuat ke publik usai pernyataan resmi dari Dirreskrimum Polda NTB, Kombes Syarif Hidayat. Brigadir Nurhadi diketahui meninggal dunia setelah mengikuti sebuah pesta bersama dua atasannya, Kompol IMY dan Ipda HC, serta dua perempuan berinisial P dan M, di sebuah vila bernama Villa Tekek pada 16 April 2025.
Dewi Juliani menyampaikan sejumlah catatan kritis terhadap berbagai aspek penanganan kasus yang disebutnya belum sepenuhnya terbuka kepada publik.
Ia menyoroti dugaan penggunaan narkotika jenis ekstasi dan obat penenang riklona oleh korban. Ia mendesak pengungkapan siapa yang memberikan zat tersebut dan bagaimana bisa berada di lokasi pesta.
“Apalagi, dua atasan korban ikut hadir dalam kegiatan itu. Harus diusut siapa yang membawa dan menyuplai,” katanya.
Informasi bahwa korban sempat merayu salah satu perempuan yang hadir menjadi titik penting yang perlu didalami.
“Apakah tindakan itu memicu kekerasan? Apakah ada keterkaitan antara rayuan itu dan luka-luka di tubuh korban? Semua harus diungkap secara objektif,” ujar legislator dari Fraksi PDI Perjuangan.
Minimnya bukti visual dari area kolam tempat korban ditemukan dinilai menghambat pengungkapan fakta. Dewi meminta penjelasan teknis dari kepolisian mengenai absennya rekaman CCTV dan mendesak agar bukti visual pendukung lainnya dikumpulkan.
Hasil forensik menunjukkan adanya luka serius pada tubuh korban, termasuk patah pada bagian lidah, memar di kepala, dan luka di tengkuk, punggung, serta kaki. Dewi menyebut temuan ini sebagai indikasi kuat penganiayaan berat.
“Diduga korban dicekik sebelum tenggelam dalam keadaan tidak sadar. Ini bukan kasus biasa. Harus ada tindakan hukum yang tegas,” ujarnya.
Kompol IMY, Ipda HC, dan perempuan berinisial M telah ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan Pasal 351 ayat (3) KUHP serta Pasal 359 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
Dewi mengapresiasi langkah cepat aparat, namun menekankan pentingnya keterbukaan dalam proses pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) terhadap dua perwira polisi.
“PTDH bukan sekadar sanksi administratif, tapi bentuk komitmen moral institusi terhadap keadilan,” tegasnya.
Dalam konteks pencegahan perilaku menyimpang, Dewi mengusulkan agar peran Bhayangkari diperkuat sebagai penjaga nilai moral dalam keluarga Polri.
“Bhayangkari harus menjadi pengingat moral bagi para suami yang bertugas, agar menjauhi penyimpangan etik maupun hukum. Kapolri perlu melakukan Re-Optimalisasi yang bermakna dan berdampak,” ujarnya.
Di akhir keterangannya, Dewi Juliani menegaskan bahwa pengungkapan menyeluruh terhadap kasus Brigadir Nurhadi adalah upaya penting untuk, melindungi marwah dan integritas Polri dari tindakan oknum yang dapat merusak citra kepolisian.
“Apalagi jika ini mengarah pada perkeliruan bersama atau kenakalan terpimpin hingga menyebabkan kematian. Ketegasan pimpinan Polri adalah mutlak,” pungkasnya.