Rp500 juta untuk kategori usaha dan Rp300 juta untuk kategori perorangan
JAKARTA, Presiden Prabowo Subianto telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024 tentang penghapusan piutang macet kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Berikut persyaratan kebijakan penghapusan utang tersebut, mulai dari nominal hingga jenis nasabah.
Menteri UMKM, Maman Abdurrahman, menyampaikan, beberapa syarat bagi penerima kebijakan pemutihan kredit ini, salah satunya adanya nominal pinjaman maksimal.
Selain itu, Maman juga mengatakan kebijakan ini berlaku hanya bagi bank-bank milik negara atau Himbara yang tidak mampu membayar angsuran hingga jatuh tempo, sehingga menjadi kredit macet.
“Diberikan sebuah penghapusan utang-piutang, yang di mana kalau tadi ditanyakan, banknya di mana, yang notabene adalah bank BUMN kita, Himbara,” kata Maman.
Maman menambahkan, nasabah penerima kebijakan tersebut harus berkategori tidak memiliki kemampuan lagi untuk membayar piutang dalam rentang waktu kurang lebih 10 tahun.
“Ini juga para pelaku UMKM yang bergerak di sektor perikanan dan pertanian, yang sudah tidak memiliki kemampuan bayar dan sudah jatuh tempo serta sudah diproses penghapusan bukunya di bank Himbara kita,” ujar Maman.
Dia juga menekankan apabila bank Himbara menilai terdapat UMKM yang masih mampu untuk terus berjalan, maka tidak akan diberikan pemutihan utang.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan, meski PP ini dikatakan agar meringankan beban ekonomi para pelaku UMKM, petani, dan nelayan, namun skema penghapusan utang ini bersifat parsial dan hanya bisa diterapkan pada debitur-debitur tertentu.
“Dari target 6 juta debitur petani dan nelayan, ujungnya akan diseleksi oleh lembaga keuangan seperti bank, koperasi, dan lembaga mikro lainnya,” ujar Bhima melalui pesan singkat kepada Tirto, Sabtu (9/11/2024).
Menurut Bhima, seleksi ini perlu memperhatikan beberapa manajemen risiko yang diterapkan lembaga keuangan. Bhima menyebut terdapat beberapa aspek yang patut diperiksa sebelum menerapkan penghapusan utang.
“Mereka akan cek dulu kemampuan bayar debiturnya, riwayat kelancaran bayar, dan apakah sudah pernah ikut restrukturisasi kredit waktu pandemi lalu,” kata dia.
Lebih lanjut, debitur dengan kriteria sifatnya yang sudah mendapat program restrukturisasi pandemic, tetapi masih sulit melunasi pokok dan bunga utang, maka akan dilanjutkan pada tahap write off atau penghapusan utang.
Bhima juga mengakui kekhawatirannya bahwa program penghapusan utang ini menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat. Hal ini lantaran publik mengira semua petani dan nelayan otomatis mendapat fasilitas penghapusan utang, padahal tidak demikian.
“Ini repotnya. Harusnya disebutkan detail kriteria dulu, jadi tidak timbul moral hazard karena salah pilih debitur,” ucap Bhima.
Kemudian, dia mengingatkan pentingnya transparansi dalam menentukan siapa saja yang berhak menerima penghapusan utang. Menurutnya, adanya transparansi dalam penentuan kriteria dapat meminimalisir timbulnya kesalahpahaman publik sehingga dapat menjaga kepercayaan pada program pemerintah.