JAKARTA, Mewakili Kepala Staf Kepresidenan sebagai pembicara dalam BCA Young Community Conference 2019 di Grand Ballroom, Hotel Indonesia Kempinski, Selasa, 3 September 2019, Deputi III Kepala Staf Kepresidenan, Denni Puspa Purbasari, menegaskan bahwa tidak ada dalam sejarah, negara yang menjadi pelopor kemajuan teknologi atau mengadopsi teknologi yang lebih baik, mengalami kemunduran atau sengsara rakyatnya. Sebaliknya, negara tersebut tumbuh gemilang, yang ditandai dengan pendapatan per kapita yang lebih tinggi.
Pernyataan di atas disampaikan Denni ketika menjawab pertanyaan Zilvia Iskandar, anchor Metro TV, apakah revolusi industri 4.0 akan membawa disrupsi yang menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan daripada yang memperoleh pekerjaan.
Lebih jauh, dalam conference bertajuk “The Unexpected New Wave of Technopreneurs” yang dihadiri sekitar 800 nasabah muda BCA Solitaire dan Prioritas di bawah 35 tahun dan jajaran manajemen Bank BCA, akademisi Universitas Gadjah Mada ini menekankan pentingnya the losers (1.0 atau 2.0) dapat ditarik bersama dengan the winners (4.0) sehingga transformasi membawa manfaat bagi semua.
Proteksi menghambat transformasi
Peraih doktor Ekonomi dari University of Colorado at Boulder ini mengingatkan agar kita jangan terpaku pada terminologi 4.0, 5.0 atau 7.0. “Esensi dari revolusi industri berapapun digitnya adalah transformasi proses produksi, agar lebih efisien dan produktif,” tegasnya.
Kunci dari proses transformasi yang berhasil adalah harus sejalan dengan tren permintaan ke depan. Karena, di situlah sumber dari keuntungan dan sekaligus tekanan—apakah mau berubah dan stay relevant, atau tidak mau berubah dan mati.
Lebih jauh Denni menjelaskan bahwa risiko sebaiknya tidak dihilangkan. Karena, risiko membuat kita terus berpikir kreatif. “Proteksi justru membuat exposure perusahaan pada konteks zaman yang berubah, hilang. Mereka hidup dalam zona nyaman dan kehilangan daya saing,” papar deputi yang membawahi kajian dan pengelolaan isu-isu ekonomi strategis ini.
Beda kecepatan
Meneruskan apa yang disampaikan oleh Presiden Direktur Bank BCA, Jahja Setiatmadja di pembukaan acara, Denni mengatakan bahwa di era dimana perubahan makin cepat dan kompleks, entrepreneurs harus mampu berkolaborasi dengan tim yang beragam, tidak hanya lintas bidang keahlian dan lintas negara, namun juga lintas generasi. “Masalahnya, seringkali kecepatan bisnis bergerak tidak diimbangi dengan kecepatan Pemerintah dalam memfasilitasi perubahan atau merespon kebutuhan bisnis,” ungkapnya.
Menurutnya, reformasi yang lambat di sektor publik apakah Pemerintah, pendidikan, atau kesehatan, umum terjadi. Seringkali, Pemerintah belum sepenuhnya memahami inovasi yang terjadi, dan dituntut untuk adil dan memastikan kepentingan publik terjaga.
Karena itu, kolaborasinya harus ditambah lagi, yakni antara swasta dan pemerintah. “Supaya, apanya yang diregulasi atau diberi insentif, jangan salah. Bantu Pemerintah agar mengerti,” ujar Denni.
Stay humble
Bercita-cita saat di UGM ingin punya ‘Rumah Tjokro’ bagi ekonom muda cerdas seperti halnya HOS Tjokroaminoto yang punya rumah bagi Soekarno dan pemuda-pemuda cerdas di zamannya, Denni mengungkapkan pentingnya seorang pemimpin menjadi mentor bagi generasi selanjutnya. “Sekarang kedeputian saya jadi seperti ‘Rumah Tjokro’ dan saya berharap mereka akan menjadi ekonom-ekonom hebat Indonesia suatu saat nanti,” ungkapnya.
Tampil bersama dengan Staf Ahli Bidang Investasi dan Pengembangan Infrastruktur Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Prahoro Yulijanto Nurtjahyo, penerima beasiswa Fulbright ini memberikan pesan agar anak muda tetap optimis dalam menghadapi tantangan. Selain itu, mereka harus tetap “cool” dalam arti, meskipun muda-kaya-pintar-sehat namun jangan lupa untuk tetap rendah hati. “Kalau Anda diberkahi banyak kelebihan, namun tetap humble, ini jadi mata uang yang berlaku dimana pun,” tutupnya.