Indef ungkap demonstrasi akhir Agustus 2025 dipicu kesenjangan ekonomi, beban pajak, dan PHK massal, bukan sekadar isu politik.
JAKARTA, Gelombang demonstrasi yang terjadi pada akhir Agustus lalu dinilai tidak semata-mata disulut oleh isu politik. Lembaga riset ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menegaskan, akar masalah justru berasal dari tekanan sosial dan ekonomi yang semakin berat dirasakan masyarakat.
Melalui pemantauan percakapan media sosial menggunakan teknologi machine learning dan artificial intelligence (AI) via Continuum-Indef, Indef mengolah ratusan ribu data untuk menangkap keresahan publik secara langsung.
“Ini bukan intervensi asing, tetapi masalah perut,” tegas Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, dalam keterangan tertulis yang dikutip Minggu (14/9/2025).
Indef menyoroti jurang kesejahteraan antara pejabat negara dan masyarakat umum yang semakin menganga. Salah satu indikator mencolok adalah selisih pendapatan anggota DPR dan pekerja bergaji UMP (Upah Minimum Provinsi).
Seorang anggota DPR RI menerima gaji dan tunjangan sekitar Rp 65,6 juta per bulan atau setara Rp 3,93 miliar selama lima tahun masa jabatan.
Sementara itu, pekerja dengan UMP rata-rata Rp 3,31 juta per bulan memerlukan hampir 99 tahun untuk menyamai total pendapatan satu anggota DPR dalam satu periode.
“Ini mencerminkan ketimpangan yang luar biasa. Masyarakat makin sulit menjangkau kesejahteraan, sementara elite justru diuntungkan,” jelas Esther.
Ketimpangan semakin terasa ketika dibandingkan dengan garis kemiskinan nasional. Menurut data BPS Maret 2025, garis kemiskinan per kapita hanya Rp 609 ribu per bulan, atau sekitar Rp 2,87 juta untuk rumah tangga rata-rata.
Artinya, gaji DPR lebih dari 22 kali lipat dari garis kemiskinan rumah tangga Indonesia.
Di sisi lain, kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di sejumlah daerah hingga ratusan bahkan ribuan persen ikut menambah tekanan ekonomi masyarakat. Kenaikan ini terjadi di tengah badai pemutusan hubungan kerja (PHK) dan daya beli yang melemah.
Ekonom senior Indef, Tauhid Ahmad, menyebut tekanan ekonomi kini juga dirasakan oleh kalangan menengah. Salah satu indikatornya adalah penurunan jumlah tabungan masyarakat dengan saldo di bawah Rp 100 juta.
“Laju simpanan terutama di bawah Rp 100 juta semakin kecil. Itu menunjukkan daya beli kelas menengah makin tertekan,” ujarnya.
Kondisi diperparah dengan tingginya angka PHK. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, rata-rata terjadi 6.000 kasus PHK per bulan dalam dua tahun terakhir, dengan lonjakan ekstrem mencapai 17.796 kasus pada Februari 2025.
Ini mengindikasikan pasar tenaga kerja yang sangat rentan terhadap gejolak ekonomi.
Kombinasi dari ketimpangan pendapatan, beban pajak yang meningkat, menurunnya daya beli, dan sulitnya mencari pekerjaan menjadi pemicu utama demonstrasi besar-besaran di berbagai kota.
“Isu politik bisa menjadi pemantik, tetapi bahan bakarnya adalah keresahan ekonomi yang semakin meluas,” tutup Esther.