Demokrat Kritik Kebijakan Impor BBM Satu Pintu Lewat Pertamina

JAKARTA, Kebijakan pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mewajibkan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta membeli BBM melalui satu pintu, yakni Pertamina, menuai kritik. Anggota Komisi VI DPR RI, Sartono Hutomo, menilai aturan tersebut bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) yang membuka ruang partisipasi swasta dalam perdagangan energi.

Menurut Sartono, kebijakan impor BBM satu pintu berpotensi menimbulkan monopoli dan mengurangi transparansi pasar. Ia menekankan, langkah yang digagas Kementerian ESDM ini justru berisiko menurunkan kualitas iklim usaha.

Read More

“Harus dikaji lagi secara komprehensif dan mendalam. Perlu kehati-hatian dalam pengambilan kebijakan,” ujar politisi Partai Demokrat itu, Jumat (19/9/2025).

Ia menambahkan, kebijakan tersebut sudah menimbulkan dampak nyata, antara lain kesulitan pasokan di SPBU swasta hingga memicu kelangkaan. Padahal, menurutnya, kebijakan energi seharusnya memastikan ketersediaan dan keterjangkauan harga.

Sartono juga menyoroti citra publik terkait kualitas BBM.

“Ada stigma di masyarakat bahwa kualitas BBM yang disediakan SPBU swasta lebih baik dibandingkan Pertamina. Ini merupakan tamparan keras kepada Pertamina dan seluruh BUMN. Pertamax misalnya, harus benar-benar menjadi pintu pelayanan Pertamina kepada publik, memberikan pengalaman positif, kualitas terjamin, dan harga kompetitif,” katanya.

Legislator asal Jawa Timur itu menegaskan, monopoli impor hanya lewat Pertamina bisa menimbulkan masalah baru, baik dari sisi harga maupun kualitas produk. Karena itu, ia mendesak pemerintah membuka ruang kompetisi sehat agar masyarakat tidak dirugikan.

Menanggapi kritik tersebut, Juru Bicara Kementerian ESDM, Dwi Anggia, menegaskan kebijakan impor satu pintu bersifat sementara.

“Satu pintu lewat Pertamina ini bukanlah untuk jangka panjang. Ini adalah alternatif jangka pendek yang berlaku hingga akhir tahun,” ujarnya.

Anggia menambahkan, impor melalui Pertamina hanya dilakukan bila stok BBM dalam negeri betul-betul habis. Dengan demikian, kebijakan ini lebih dimaksudkan sebagai langkah antisipasi ketimbang pengaturan permanen.

Kritik DPR terhadap kebijakan ini memperlihatkan tarik-menarik antara kebutuhan jangka pendek pemerintah menjaga pasokan energi dan tuntutan jangka panjang untuk membangun sistem energi yang kompetitif.

Sartono menegaskan, momentum ini seharusnya digunakan pemerintah dan BUMN energi untuk memperbaiki kinerja produksi, bukan menutup pintu bagi swasta. “Pertamina harus hati-hati, jangan sampai kondisi persaingan usaha yang kurang sehat justru menimbulkan masalah baru ke depan,” pungkasnya.

Related posts

Leave a Reply