Dana Desa untuk Bayar Utang Koperasi? Skema Baru Pemerintah Tuai Kekhawatiran Risiko Fiskal

Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto (kanan) berdialog bersama masyarakat terkait pembentukan Koperasi Desa Merah Putih Desa Karamatwangi di Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Sabtu (31/5/2025). (ANTARA/HO-Diskominfo Garut)

JAKARTA, Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 49 Tahun 2025 yang membuka peluang penggunaan Dana Desa untuk menalangi utang koperasi jika koperasi gagal membayar cicilan pinjaman ke bank. Aturan ini menjadi bagian dari skema pembiayaan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP/KKMP), yang tengah didorong sebagai motor penggerak ekonomi lokal.

Dalam beleid tersebut, koperasi yang tergabung dalam skema KDMP atau KKMP dapat mengajukan pinjaman ke bank milik pemerintah dengan nilai maksimal Rp 3 miliar, bunga 6% per tahun, dan tenor pinjaman hingga enam tahun. Namun, jika koperasi mengalami gagal bayar, maka bank dapat meminta pemerintah untuk menalangi utang tersebut dengan mencairkan Dana Desa, Dana Alokasi Umum (DAU), atau Dana Bagi Hasil (DBH), tergantung dari lokasi koperasi.

Read More

Ketentuan ini memicu kekhawatiran sejumlah pihak, termasuk lembaga riset ekonomi dan kebijakan publik. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menyebut skema ini berisiko besar terhadap stabilitas fiskal desa.

“Jika koperasi gagal bayar, maka Dana Desa—yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan layanan dasar masyarakat—akan tersedot untuk membayar utang koperasi,” ujar Bhima kepada wartawan, Jumat (25/7).

Dalam laporan analisis fiskal yang dilakukan CELIOS, terdapat tiga skenario simulasi pinjaman koperasi dengan asumsi pendirian 80.000 koperasi. Pada skema B dan C, dengan pinjaman Rp 4 miliar dan Rp 5 miliar per koperasi, beban cicilan tahunan dapat mencapai masing-masing Rp 44,8 triliun dan Rp 56 triliun. Ini setara dengan 63% hingga 78,8% dari total Dana Desa nasional yang hanya sekitar Rp 71 triliun per tahun.

“Dalam skenario sedang sekalipun, 47,3% Dana Desa akan terserap untuk membayar cicilan koperasi. Hanya tersisa Rp 467 juta per desa per tahun, yang jelas tidak cukup untuk pembangunan infrastruktur atau pelayanan publik dasar,” lanjut Bhima.

Skema ini juga dinilai membuka celah moral hazard. Karena pembayaran dijamin oleh negara, koperasi berpotensi mengabaikan prinsip kehati-hatian (prudent). Dalam kondisi terburuk, muncul risiko koperasi fiktif, penyalahgunaan dana, hingga praktik korupsi yang melibatkan elite lokal.

Pasal 11 PMK No. 49/2025 mengatur bahwa dana talangan tersebut akan diakui sebagai piutang pemerintah daerah kepada koperasi. Namun demikian, CELIOS menilai mekanisme ini hanya memindahkan risiko keuangan dari bank ke pemerintah desa, tanpa memberikan solusi struktural terhadap masalah pembiayaan dan tata kelola koperasi.

Program Koperasi Merah Putih sejatinya memiliki tujuan baik—menghidupkan ekonomi desa melalui koperasi. Namun tanpa pengawasan ketat dan mitigasi risiko yang memadai, kebijakan ini justru berpotensi menimbulkan lubang fiskal jangka panjang.

“Alih-alih menjadi solusi pembiayaan desa, program ini bisa menjadi beban baru yang menggerus anggaran untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur,” pungkas Bhima.

Related posts

Leave a Reply