Dampak Kebijakan Tarif Impor AS: Potensi PHK di Indonesia Terus Membesar

Ilustrasi

JAKARTA, Dewan Ekonomi Nasional (DEN) mengungkapkan bahwa kebijakan tarif baru impor dari Amerika Serikat (AS) yang diputuskan oleh Presiden Donald Trump dapat memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia. Menurut anggota DEN, Chatib Basri, penerapan tarif 32% terhadap produk Indonesia yang diekspor ke AS berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia dan memicu gelombang PHK.

“Kalau ekspor Indonesia terkena, maka akan ada risiko untuk dua hal. Pertama, perlambatan dari pertumbuhan ekonomi. Kedua, risiko PHK yang perlu diantisipasi,” ujar Chatib Basri dalam wawancara, Senin (7/4/2025).

Read More

Chatib Basri juga menjelaskan sektor-sektor yang akan terpengaruh oleh kebijakan tarif baru AS. Di antaranya adalah industri tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, serta sektor perikanan seperti udang. Selain itu, sektor lainnya yang akan terdampak meliputi mesin perlengkapan elektronik dan lemak minyak hewan nabati.

Menurut Chatib, meskipun Indonesia hanya memiliki rasio ekspor terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 25%, lebih kecil dibandingkan negara-negara seperti Singapura dan Vietnam, namun kebijakan ini tetap akan berdampak. Ia juga menyebutkan bahwa dampak tarif baru AS dapat menyebabkan resesi global, yang tentu akan mempengaruhi Indonesia meskipun perekonomian Indonesia lebih terbatas dibandingkan negara-negara yang lebih terintegrasi dengan ekonomi global.

Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, memperkirakan bahwa sejumlah industri di Indonesia, terutama yang berorientasi ekspor ke AS, akan sangat terdampak oleh kebijakan tarif baru tersebut. Industri tekstil, garmen, sepatu, makanan dan minuman, serta sektor kelapa sawit dan karet diprediksi mengalami tekanan hebat. Said Iqbal menambahkan bahwa ada kemungkinan perusahaan asing yang berinvestasi di Indonesia akan mencari negara lain dengan tarif impor yang lebih rendah ke AS, seperti Bangladesh atau India.

Said juga memperkirakan potensi PHK yang lebih besar pada gelombang kedua. “Badai PHK gelombang kedua bisa mencapai 50 ribu orang dalam 3 bulan setelah tarif berjalan. Ini merupakan kalkulasi sementara, yang bisa meningkat tergantung dampak dari kebijakan tersebut,” ungkapnya.

Said Iqbal menambahkan bahwa pada gelombang PHK pertama, sekitar 60 ribu pekerja dari 50 perusahaan di Indonesia telah kehilangan pekerjaan sejak Januari hingga awal Maret 2025. Banyak pekerja yang tidak menerima hak pesangon atau Tunjangan Hari Raya (THR) mereka, yang semakin memperburuk situasi.

“Litbang KSPI mencatat 60 ribu buruh yang di-PHK, namun sayangnya banyak yang tidak mendapatkan hak pesangon atau THR,” kata Said.

Menanggapi tingginya potensi PHK, Said Iqbal mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret dalam mengantisipasi dampak dari kebijakan tarif AS. Ia menyarankan pembentukan satuan tugas (satgas) PHK yang bisa membantu mengurangi angka PHK yang mungkin terus meningkat.

“Pemerintah perlu membentuk satgas PHK yang melibatkan lebih banyak pihak, tidak hanya Kementerian Ketenagakerjaan. Kami dari serikat buruh berharap satgas ini bisa mengurangi jumlah PHK hingga 30 ribu orang,” harap Said.

Said juga mengingatkan bahwa jika pemerintah tidak segera mengatasi masalah ini, protes dari buruh besar kemungkinan akan terjadi. “Jika PHK terus terjadi, kami akan turun ke jalan,” tegasnya.

Related posts

Leave a Reply