JAKARTA, Mantan Menteri Keuangan sekaligus anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Chatib Basri, menyoroti isu utama perpajakan di Indonesia yang lebih terkait pada tingkat kepatuhan wajib pajak dibandingkan dengan besaran tarif pajak. Menurutnya, menaikkan tarif pajak tidak akan memberikan dampak signifikan jika masalah kepatuhan tidak diselesaikan.
“Isunya di sini adalah isu mengenai kepatuhan. Upaya untuk menggunakan tarif mungkin akan berdampak tetapi tidak akan terlalu signifikan,” ujar Chatib dalam konferensi pers DEN, Senin (13/1/2025).
Shortfall Pajak dan Tantangan yang Dihadapi
Pada 2024, penerimaan pajak hanya mencapai 97,2% dari target dalam UU APBN sebesar Rp 1.988,9 triliun, dengan kekurangan setoran pajak mencapai Rp 56,5 triliun. Meski demikian, realisasi penerimaan pajak tercatat mencapai 100,5% dari outlook 2024.
Hal ini menunjukkan bahwa upaya optimalisasi pajak masih menghadapi tantangan besar, termasuk dalam pengumpulan pajak yang efisien.
Coretax dan Integrasi dengan Govtech
Pemerintah telah mulai menerapkan sistem Coretax untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Chatib mengapresiasi langkah ini, namun menegaskan pentingnya integrasi Coretax dengan Govtech Indonesia. Govtech merupakan platform terpadu yang menghubungkan data dari berbagai instansi pemerintah, termasuk data pajak dan kependudukan.
“Kalau Anda lapor pajak di Coretax tidak benar, sementara pembelian mobil tidak dilaporkan, maka dengan data digital bisa di-cross check sehingga DJP dapat memonitor apakah datanya betul atau tidak. Di sini, compliance bisa didapatkan,” jelas Chatib.
Lebih lanjut, Chatib menyebut bahwa sistem ini memungkinkan penerapan sanksi otomatis melalui Govtech, seperti pemblokiran otomatis bagi wajib pajak yang tidak patuh. “Dengan Govtech, ada automatic blocking sehingga wajib pajak mau tidak mau harus patuh,” tegasnya.
Optimalisasi Sistem Perpajakan untuk Tingkatkan PDB
Berdasarkan data dari Bank Dunia, optimalisasi sistem perpajakan di Indonesia dapat memberikan kontribusi hingga 6,4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), atau sekitar Rp 1.500 triliun. Bank Dunia juga sempat mengkritisi sistem pengumpulan pajak Indonesia yang dinilai tidak efisien, bahkan disamakan dengan Nigeria.
“Kalau kita bisa lakukan program ini, itu bisa menyumbang 6,4% dari GDP atau setara kira-kira Rp 1.500 triliun,” ujar Chatib, mengutip laporan Bank Dunia.
Fokus pada Kepatuhan, Bukan Tarif
Chatib menekankan bahwa menaikkan tarif pajak bukan solusi utama untuk meningkatkan penerimaan pajak. Sebaliknya, penguatan sistem, peningkatan kepatuhan, dan penerapan teknologi digital merupakan langkah yang lebih efektif.
“Untuk urus pajak bukan pekerjaan mudah. Kalau kita naikkan tarif, masyarakat akan marah. Maka fokuslah pada kepatuhan,” pungkasnya.