BSU Kembali Digulirkan, Tapi PHK Tak Kunjung Mereda: LPEM FEB UI Tunjukkan Kelemahan Skema Indonesia

Ilustrasi

JAKARTA, Pemerintah kembali menggulirkan Bantuan Subsidi Upah (BSU) untuk periode Juni–Juli 2025, melanjutkan kebijakan yang pertama kali diterapkan saat krisis ekonomi akibat Pandemi Covid-19 pada 2020. Namun, efektivitas BSU sebagai penahan laju pemutusan hubungan kerja (PHK) dinilai belum memadai, berbeda dengan sejumlah negara lain yang berhasil memanfaatkan subsidi upah sebagai instrumen job retention yang lebih kuat.

Menurut kajian terbaru Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), model BSU Indonesia memiliki kelemahan mendasar dalam desainnya—terutama karena tidak mewajibkan perusahaan untuk mempertahankan pekerja penerima subsidi.

Read More

“Meskipun BSU relatif cepat dan sederhana secara administratif, efektivitasnya dalam mencegah PHK atau mendorong pemulihan hubungan kerja formal menjadi terbatas,” tulis Muhammad Hanri dan Nia Kurnia Sholihah, peneliti LPEM, dalam Labor Market Brief edisi Juni 2025, Senin (16/6).

Data dari Satu Data Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja yang terkena PHK terus meningkat meski program BSU sudah dijalankan sejak 2020. Jumlah PHK tercatat:

  • 2022: 25.114 orang

  • 2023: 64.855 orang

  • 2024: 77.965 orang

Kenaikan signifikan ini memperlihatkan bahwa BSU, yang disalurkan langsung ke rekening pekerja tanpa syarat hubungan kerja, gagal mencegah gelombang PHK di sektor formal.

LPEM FEB UI menyoroti bahwa berbagai negara seperti Australia, Inggris, Jerman, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Filipina telah menjalankan skema subsidi upah yang lebih strategis dan berdampak langsung dalam mempertahankan lapangan kerja.

Beberapa contoh kebijakan yang dianggap efektif:

  • Australia – JobKeeper: Subsidi disalurkan ke perusahaan, dengan syarat pekerja tetap berada dalam daftar gaji.

  • Inggris – Furlough Scheme: Pemerintah menanggung hingga 80% gaji pekerja yang dirumahkan sementara.

  • Jerman – Kurzarbeit: Gaji pekerja yang jam kerjanya dikurangi tetap ditopang oleh negara agar perusahaan tidak perlu mem-PHK.

  • Malaysia – PSU: Bantuan diberikan langsung ke perusahaan, dengan komitmen untuk mempertahankan karyawan.

  • Singapura – Jobs Support Scheme: Pemerintah menanggung 25–75% upah pekerja lokal via perusahaan.

  • Thailand – Co-payment Model: Pemerintah membayar 50% upah bagi pekerja yang dipertahankan.

  • Vietnam: Skema kombinasi untuk pekerja formal dan informal.

  • Filipina: Satu-satunya negara yang serupa dengan Indonesia, memberikan bantuan langsung ke rekening pekerja tanpa skema retensi kerja.

“Di negara-negara tersebut, subsidi upah menjadi instrumen retensi kerja formal, bukan hanya bantuan pendapatan sementara,” tulis LPEM dalam kajiannya.

Salah satu perbedaan kunci dari BSU Indonesia adalah mekanismenya yang tidak berbasis perusahaan, melainkan langsung dikirim ke rekening pekerja. Skema ini tidak disertai insentif atau kewajiban kepada perusahaan untuk mempertahankan pekerja yang menerima subsidi tersebut.

Selain itu, nilai BSU yang tetap (flat) tanpa menyesuaikan dengan proporsi gaji atau UMP membuat bantuan ini memiliki dampak terbatas dalam menjaga daya beli, terutama di kota-kota besar dengan biaya hidup tinggi.

“Tanpa pendekatan berbasis perusahaan dan tanpa pengait pada struktur upah, BSU sulit berfungsi sebagai instrumen perlindungan hubungan kerja,” ujar LPEM.

Kajian LPEM menyimpulkan bahwa pemerintah perlu meninjau ulang desain BSU, agar lebih efektif dalam mencegah PHK, bukan hanya memberi bantuan jangka pendek.

“Jika ingin mendorong stabilitas tenaga kerja, BSU harus diarahkan sebagai instrumen job retention, bukan sekadar cash transfer,” tegas tim LPEM FEB UI.

Related posts

Leave a Reply