JAKARTA, Lembaga riset ekonomi Bright Institute memproyeksikan nilai tukar rupiah akan mencapai keseimbangan baru di kisaran Rp16.500 per dolar AS dalam dua bulan ke depan. Perkiraan ini didasarkan pada indikator fundamental domestik, seperti transaksi finansial dan posisi investasi internasional dalam neraca pembayaran Indonesia.
Ekonom Senior Bright Institute, Awalil Rizky, menjelaskan bahwa pergerakan nilai tukar dalam jangka panjang dipengaruhi oleh faktor fundamental ekonomi, bukan sekadar fluktuasi harian.
“Untuk menjelaskan pergerakan nilai tukar secara harian itu bisa, namun proyeksi tahunan harus melihat faktor fundamental, seperti neraca pembayaran, kondisi paritas, dan pasar aset,” ujar Awalil dalam webinar yang digelar Selasa (21/1).
Pada triwulan III 2024, neraca pembayaran Indonesia mencatat surplus sebesar US$5,87 miliar. Namun, secara kumulatif sepanjang tahun 2024, terjadi defisit hingga US$600 juta, yang merupakan defisit pertama sejak 2018. Hal ini menjadi salah satu alasan sulitnya rupiah kembali ke nilai keseimbangan sebelumnya.
“Neraca transaksi berjalan selama 2024 hingga triwulan III defisit sebesar US$7,88 miliar, jauh lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Ini mengingatkan pada era sebelum 2021, di mana defisit besar sering terjadi,” jelas Awalil.
Dari sisi neraca transaksi finansial, meskipun arus modal masuk tercatat surplus pada 2024, angka ini terus menurun sejak 2014 dan bahkan sempat berbalik menjadi defisit pada 2022. Surplus pada 2023 sebesar US$9,51 miliar masih jauh lebih kecil dibandingkan era sebelum pandemi, yang mencapai US$16–44 miliar.
“Selain itu, posisi ‘investasi lainnya’ dalam investasi internasional kini lebih memengaruhi nilai tukar dibandingkan ‘investasi langsung’ dan ‘investasi portofolio’. Namun, posisi ‘investasi lainnya’ ini paling rentan karena modal asing cenderung stagnan sementara modal penduduk Indonesia yang ditempatkan di luar negeri justru tumbuh pesat,” tambahnya.
Awalil menilai ketahanan eksternal perekonomian Indonesia berada di posisi moderat, tidak terlalu lemah namun juga tidak kuat. Ia memprediksi nilai tukar rupiah memiliki potensi pelemahan hingga Rp17.000 per dolar AS, namun juga bisa menguat hingga kisaran Rp16.000 per dolar AS jika faktor pendukung terpenuhi.
“Meski potensi guncangan eksternal besar masih bisa terjadi, ketahanan menghadapi risiko tersebut relatif lemah. Selain itu, kebijakan moneter Bank Indonesia yang semakin terikat pada kepentingan fiskal pemerintah dan kondisi industri keuangan menjadi faktor yang perlu diwaspadai,” pungkas Awalil.