JAKARTA, Indonesia kembali dihadapkan dengan fenomena kemarau basah pada 2025, yang diperkirakan dapat berlangsung hingga Agustus mendatang. Fenomena ini semakin sering terjadi dalam beberapa tahun terakhir dan menimbulkan dampak signifikan bagi berbagai sektor, seperti pertanian, infrastruktur, hingga kesehatan masyarakat.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kemarau basah terjadi ketika curah hujan tetap tinggi pada musim kemarau, yang seharusnya ditandai dengan cuaca kering dan langit cerah. Dalam kondisi normal, musim kemarau di Indonesia berlangsung dari Mei hingga September dengan curah hujan kurang dari 50 milimeter per bulan. Namun, dalam kemarau basah, curah hujan bisa mencapai lebih dari 100 milimeter per bulan.
“Fenomena ini menjadi semakin sering terjadi di Indonesia, dan bisa terus berlanjut hingga Agustus 2025,” ujar Kepala BMKG, dalam pernyataan resminya.
Beberapa faktor yang memicu terjadinya kemarau basah antara lain:
- Suhu Muka Laut yang Hangat di sekitar Indonesia yang mempengaruhi pola cuaca.
- Fenomena Global seperti La Niña dan Indian Ocean Dipole (IOD) negatif yang berdampak pada curah hujan yang tinggi.
- Gelombang Atmosfer seperti Madden-Julian Oscillation (MJO), gelombang Kelvin, dan Rossby yang turut mempengaruhi cuaca di Indonesia.
- Perubahan Iklim Jangka Panjang, yang menyebabkan atmosfer menjadi lebih lembap dan tidak stabil.
Kemarau basah lebih sering terjadi di wilayah dengan pola hujan monsunal, seperti:
- Jawa
- Bali
- Nusa Tenggara
Wilayah-wilayah ini biasanya memiliki perbedaan musim hujan dan kemarau yang jelas. Namun, fenomena kemarau basah mengganggu pola tersebut, dengan hujan yang tetap turun meskipun di tengah musim kemarau.
Kemarau basah memiliki berbagai dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat, antara lain:
- Pertanian
- Tanah sulit diolah karena tergenang air.
- Risiko gagal panen meningkat akibat tanah yang tidak cukup kering.
- Serangan hama dan penyakit tanaman lebih sering terjadi.
- Efektivitas pupuk dan pestisida berkurang karena tercuci oleh hujan.
- Infrastruktur dan Lingkungan
- Potensi banjir lokal dan longsor meningkat.
- Pekerjaan konstruksi terganggu akibat kondisi cuaca yang tidak menentu.
- Kesehatan Masyarakat
- Peningkatan risiko penyakit tropis yang menyebar melalui air tergenang.
- Fluktuasi cuaca dapat memicu gangguan pernapasan dan penyakit saluran pernapasan.
Kemarau basah pernah terjadi pada 2023, terutama di Grobogan, Klaten, dan Sragen yang terletak di Jawa Tengah. Di wilayah ini, curah hujan tercatat mencapai 120–180 mm per bulan, padahal seharusnya kurang dari 50 mm. Dampaknya, masa tanam kedua terganggu, tanah tidak cukup kering untuk pengolahan, dan serangan hama meningkat.
BMKG memberikan beberapa langkah adaptasi untuk mengurangi dampak kemarau basah, di antaranya:
- Penyesuaian Jadwal Tanam agar tanaman tidak terpengaruh kondisi cuaca yang tidak stabil.
- Penggunaan Varietas Tanaman Tahan Lembap yang lebih cocok dengan kondisi hujan yang sering turun di musim kemarau.
- Perbaikan Sistem Drainase Lahan Pertanian untuk mengatasi genangan air.
- Pemanfaatan Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) jika diperlukan untuk menambah curah hujan yang dibutuhkan.
- Pemantauan Informasi Cuaca secara rutin melalui kanal resmi BMKG.
BMKG menegaskan bahwa kemarau basah bukan lagi fenomena langka, dan frekuensinya terus meningkat seiring dengan perubahan iklim. Masyarakat diharapkan untuk lebih siap menghadapi kondisi cuaca yang semakin tidak menentu.