Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Tjahjo Kumolo mengakui sulitnya meraba pola pikir seiring dengan adanya aparatur sipil negara (ASN) yang berpikiran radikal.
“Meraba pola pikir ASN, ‘kan tidak tahu,” kata Tjahjo Kumolo saat Pertemuan Koordinasi Membangun Sinergi Penguatan Nilai-Nilai Pancasila dalam Kebijakan Pembangunan di Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan di Jakarta, Senin.
Tjahjo mengatakan bahwa paparan radikalisme sudah diantisipasi saat tes calon pegawai negeri sipil (CPNS) dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Pancasila, wawasan kebangsaan, dan sebagainya.
Begitu diterima sebagai ASN, kata dia, mereka juga diminta mengikrarkan sumpah setia pada Pancasila dan NKRI. Demikian pula, ketika menerima jabatan, baik di eselon I, II, maupun seterusnya.
Namun, Tjahjo mengatakan bahwa perubahan pemikiran bisa terjadi secara tiba-tiba, termasuk ASN yang semula adalah warga negara yang baik, kemudian berubah pandangan menjadi radikalis.
“Meraba ‘kan sulit. Dari data dan telaah dari BNPT, BIN, dan BKN, ternyata yang pikirannnya kemrungsung banyak. Tidak hanya golongan kecil. Di perguruan tinggi juga banyak profesor doktor yang berubah mendadak pola pikirnya,” katanya.
Tjahjo mencontohkan salah seorang sejawatnya yang semula dikenalnya sebagai nasionalis sejati, ternyata sekarang ini sudah berubah pola pikirnya.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud menjelaskan bahwa pengamalan Pancasila terbagi atas dua aspek, yakni pengamalan objektif dan subjektif.
“Pengamalan objektif itu orang mengamalkan karena tahu ilmunya, sedangkan pengamalan subjektif itu karena dari hatinya,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Orang-orang yang berpikiran radikal, kata dia, bisa saja lulus tes CPNS karena mereka mengamalkan secara objektif dengan cara belajar secara keilmuan.
“Nah, ketika tes itu, dia tahu ilmunya karena belajar dan lulus. Sesudah di psikotes, ketahuan, oh ini radikal. Meskipun ilmunya tahu, hatinya tidak,” kata Mahfud.