Antara Bendera Bajak Laut dan Kepercayaan Publik yang Rapuh

Oleh: Muhamad Nur Fadilah, Mahasiswa Universitas Yuppentek Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Menjelang Hari Kemerdekaan, jagat maya sempat dihebohkan dengan pengibaran bendera bajak laut dari serial animasi One Piece.

Read More

Tindakan yang dilakukan oleh sebagian anak muda ini kemudian memicu reaksi keras dari sejumlah anggota DPR RI.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar, Rizki Faisal, menilai aksi tersebut sebagai penyalahgunaan simbol yang dapat mengaburkan makna kemerdekaan.

Sementara itu, koleganya, Firman Soebagyo, menyebut pengibaran bendera tersebut sebagai bentuk provokasi yang berpotensi memecah belah persatuan bangsa.

Namun, perdebatan ini menimbulkan pertanyaan yang lebih mendalam: mengapa sebuah simbol fiktif dari dunia hiburan bisa dianggap mengancam stabilitas nasional?

Tidakkah reaksi yang berlebihan terhadap ekspresi budaya populer justru mencerminkan sesuatu yang lebih genting, yakni rapuhnya kepercayaan publik terhadap institusi negara?

Negara dengan fondasi legitimasi yang kuat semestinya tidak mudah goyah hanya karena ekspresi anak muda yang lahir dari ranah hiburan digital.

Simbol bajak laut, betapapun populernya, tetaplah bagian dari budaya fiksi yang tidak memiliki kekuatan hukum ataupun agenda politik di dunia nyata.

Sebaliknya, reaksi yang defensif atas ekspresi semacam ini bisa mencerminkan ketakutan negara terhadap ketidakhadiran mereka dalam imajinasi generasi muda.

Sebab ketika negara gagal hadir secara relevan dalam ruang-ruang narasi anak muda, maka tak heran jika simbol lain, sekalipun fiktif, diisi dengan makna baru yang terasa lebih dekat dan mewakili.

Fenomena ini seharusnya menjadi cermin, bukan ancaman. Di tengah pergeseran cara generasi muda memaknai nasionalisme, negara perlu merumuskan ulang pendekatan terhadap ekspresi mereka.

Seremoni kemerdekaan yang kaku dan repetitif sering kali gagal menjawab kebutuhan akan keterlibatan yang lebih otentik dan bermakna.

Pemerintah dapat memanfaatkan momen ini sebagai peluang membangun kembali kepercayaan publik melalui dialog, bukan pelarangan.

Merangkul ekspresi budaya pop dan menjadikannya pintu masuk untuk narasi kebangsaan yang inklusif bisa menjadi langkah yang jauh lebih strategis.

Karena pada akhirnya, yang menjadi ancaman bukanlah bendera bajak laut, melainkan jarak yang kian lebar antara negara dan rakyatnya.

Jika rasa percaya telah menguat, maka tak ada simbol fiktif pun yang mampu menggoyahkan legitimasi negara.

Related posts

Leave a Reply