Anggota Komisi VI DPR RI Kritik Larangan Penjualan Rokok Ketengan

Anggota DPR RI, Luluk Nur Hamidah sesi interupsi di Ruang Sidang Paripurna, Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta pada Selasa (5/2/2024). Foto: Jaka/nr

JAKARTA, Anggota Komisi VI DPR RI, Luluk Nur Hamidah, mengkritik kebijakan pemerintah yang melarang penjualan rokok ketengan. Luluk, yang membidangi urusan perdagangan serta Usaha Kecil dan Menengah (UKM), menyatakan bahwa kebijakan tersebut tidak berpihak kepada rakyat kecil.

“Kebijakan pelarangan penjualan rokok ketengan tidak berpihak pada wong cilik. Lagi-lagi pelaku usaha mikro yang menjadi korban,” ungkap Luluk Nur Hamidah, dikutip dari Parlementaria.

Read More

Kebijakan larangan penjualan rokok ketengan ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang baru saja diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi). PP ini merupakan aturan turunan dari Undang-undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.

Luluk memahami bahwa pengetatan aturan terkait rokok berkaitan dengan kesehatan masyarakat. Namun, ia juga menekankan bahwa kebijakan ini dapat berdampak pada pelaku usaha kecil dan masyarakat berpenghasilan rendah.

“Rokok ketengan ini hak pedagang asongan, pedagang kecil, dan konsumen dari kelas bawah yang hanya punya kemampuan beli secara ketengan,” ujar Legislator dari Dapil Jawa Tengah IV tersebut.

Dalam PP 28/2024, larangan penjualan rokok ketengan tercantum dalam Pasal 434 ayat 1 poin c. Aturan itu menegaskan penjualan rokok tidak lagi boleh diedarkan dalam kemasan ‘kiddie pack’ atau kurang dari 20 pcs, kecuali bagi produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik.

“Seharusnya pemerintah mempertimbangkan kebutuhan rakyat dengan perekonomian rendah seperti kuli bangunan, buruh kasar, dan kelompok masyarakat bawah lainnya,” tegas Luluk.

Menurut Anggota Badan Legislasi (Baleg) tersebut, kebijakan pelarangan penjualan rokok ketengan akan sangat berpengaruh di tengah kelesuan konsumsi masyarakat saat ini. Luluk menilai seharusnya pemerintah turut mempertimbangkan kebutuhan ekonomi rakyat kecil dalam membuat kebijakan.

“Pelarangan ketengan sungguh sangat tidak peka dan tidak adil, khususnya bagi pedagang kecil seperti asongan, starling, warung-warung kecil, dan konsumen kelas bawah,” ungkapnya.

Luluk juga menyoroti bagaimana rokok ketengan atau eceran sebenarnya mengakomodir masyarakat yang bukan perokok berat, sebab mereka tidak membutuhkan membeli rokok dalam jumlah banyak.

“Kalau memang kebutuhannya untuk menekan prevalensi perokok anak, hari ini yang terjadi adalah anak-anak itu membeli rokok ilegal tanpa cukai karena harganya yang sangat murah. Mestinya ini yang diatasi, termasuk pengawasan secara sistematis,” papar Luluk.

Luluk menilai, dibandingkan membuat larangan-larangan penjualan rokok yang berdampak pada industri tembakau, termasuk pelaku usaha mikro, seharusnya pemerintah fokus pada pemberian literasi bahaya rokok kepada anak-anak.

“Saya merasa kebijakan pelarangan penjualan rokok eceran tidak akan efektif karena kalau dari hulunya saja tidak dibenahi, artinya ada kegagalan pada sistem pencegahan di bidang edukasi dan sosialisasi,” tukasnya.

Luluk menganggap kebijakan baru pemerintah tersebut justru akan menambah masalah ekonomi kerakyatan baru, yang hasil dari tujuan utamanya pun belum tentu dapat dicapai. “Saya berharap kebijakan larangan penjualan rokok ketengan bisa ditinjau ulang oleh Pemerintah,” tutup Luluk.

(bia/rdn)

 

Related posts

Leave a Reply