JAKARTA, Proyek penulisan sejarah resmi Indonesia yang digagas Kementerian Kebudayaan menuai penolakan keras. Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), yang terdiri dari sejarawan, aktivis HAM, akademisi, dan tokoh masyarakat, menyampaikan keberatannya langsung dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi X DPR RI, Senin (19/5/2025).
Dalam forum yang dipimpin Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, AKSI menyatakan bahwa proyek sejarah resmi ini berpotensi menjadi alat legitimasi kekuasaan dan membungkam keragaman tafsir sejarah. Mereka menilai proyek tersebut sebagai bentuk penyalahgunaan sejarah yang bisa menghapus fakta-fakta penting, terutama pelanggaran hak asasi manusia yang pernah terjadi di masa lalu.
Ketua AKSI, Marzuki Darusman, menekankan bahwa penyusunan sejarah tidak boleh dimonopoli oleh kekuasaan mana pun. Ia menilai upaya ini berbahaya karena berpotensi menimbulkan tafsir tunggal sejarah dan menutupi pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.
“Proyek ini bisa digunakan untuk mencuci dosa rezim, baik yang berjalan saat ini maupun yang terjadi selama masa Orde Baru,” kata Marzuki.
Ia menambahkan bahwa keresahan masyarakat cukup besar terhadap proyek penulisan ulang sejarah ini, karena berimplikasi pada penghilangan memori kolektif bangsa yang penting bagi demokrasi dan keadilan.
Sejarawan senior Asvi Warman Adam menyebut proyek ini tidak memenuhi kaidah ilmiah dalam penulisan sejarah. Ia menyamakan konsep proyek ini dengan bentuk rekayasa sejarah seperti yang dikritisi dalam buku Responsible History karya Anton Debaets.
“Ini bukan sekadar proyek sejarah, ini adalah rekayasa sejarah. Ini upaya manipulasi dengan menutupi sejumlah peristiwa penting dan mengagungkan satu rezim tertentu,” tegas Asvi.
Ia mencontohkan bagaimana peristiwa besar seperti Konferensi Asia Afrika 1955 dan Asian Games 1962 dihilangkan dalam naskah sejarah resmi tersebut. Bahkan, 12 pelanggaran HAM berat yang telah diakui negara dan disesalkan oleh Presiden Joko Widodo juga tidak dimuat secara tuntas.
“Sejarah bukan monumen tunggal yang bisa dipahat oleh satu kekuasaan. Ini bukan narasi milik negara semata,” ujar Asvi.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menambahkan bahwa sejarah adalah milik publik, termasuk para korban pelanggaran HAM. Upaya negara membakukan satu narasi sejarah sama saja dengan menutup pintu terhadap interpretasi yang beragam dan dinamis.
“Label ‘sejarah resmi’ hanya akan melahirkan ideologi dogmatis dan menyingkirkan ruang diskusi publik,” ucap Usman.
Ia menyebut proyek ini sebagai bentuk glorifikasi masa lalu yang berbahaya, karena dapat menghapus tokoh atau peristiwa yang tidak sesuai dengan narasi kekuasaan.
“Betapapun gelapnya sejarah, ia tetap harus ditulis, karena kejujuran sejarah adalah bagian dari keadilan,” tutupnya.
RDPU yang berlangsung di Kompleks Parlemen tersebut juga dihadiri sejumlah anggota Komisi X DPR RI, seperti Bonny Triyana (F-PDIP), Nilam Sari (F-NasDem), My Esti Wijayanti, Mercy Chriesty (F-PDIP), dan lainnya. Mereka mendengarkan dengan saksama kritik yang disampaikan dan berjanji akan mendalami aspirasi serta kekhawatiran yang muncul dari masyarakat sipil.