Aktivis Mempertanyakan Iktikad Pemerintah: Buku Sejarah atau Alat Penyangkalan Pelanggaran HAM?

JAKARTA, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyoroti pernyataan kontroversial Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang mengategorikan perkosaan massal Mei 1998 sebagai “rumor”. Karena banyaknya kejanggalan atas pikiran sang menteri, Usman dan aktivis perempuan pun menolak pemerintah menggarap proyek penulisan sejarah nasional.

“Pernyataan menteri yang menyebut perkosaan massal sebagai rumor justru tidak berhati-hati secara akademik. Ini bertentangan dengan laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang melibatkan menteri strategis era Habibie,” tegas Usman dalam diskusi yang digelar Koalisi Perempuan Indonesia, Selasa (2/11).

Read More

Usman menegaskan, penyangkalan ini mengabaikan otoritas laporan resmi yang telah diserahkan kepada Presiden BJ Habibie. “Laporan TGPF mencantumkan temuan perkosaan sistematis di Jakarta, Surabaya, Solo, dan Medan. Mengapa menteri sekarang yang tak terlibat dalam proses pencarian fakta justru berani menyangkal?” ujarnya.

Aktivis emansipasi perempuan Nursyahbani Katjasungkana menambahkan, penyangkalan ini melanjutkan tradisi impunitas.

“Selama 25 tahun, tak ada tindak lanjut atas rekomendasi TGPF. Kini, alih-alih memenuhi rekomendasi itu, pemerintah malah menghidupkan kembali penyangkalan melalui proyek penulisan sejarah,” kritik Nursyahbani, koordinator International People’s Tribunal 1965 ini.

Dia mengingatkan, selain TGPF, laporan Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan pelapor khusus PBB Radhika Coomaraswamy telah mengonfirmasi kekerasan seksual massal. “Ironisnya, laporan PBB yang diundang pemerintah justru ditolak di forum internasional oleh Indonesia sendiri,” ungkapnya.

Kedua tokoh menolak keras upaya pembentukan narasi tunggal sejarah.

“Pola ini persis seperti rekayasa sejarah 1965 oleh Orde Baru. Kini mereka berusaha menghapus memori kekerasan 1998 dengan dalih ‘kehati-hatian akademik’,” pungkas Usman.

Protes ini muncul menyusul rencana Kementerian Kebudayaan menerbitkan buku sejarah resmi yang diduga akan mereduksi pelanggaran HAM masa lalu.

Nursyahbani menegaskan, korban kekerasan negara berhak atas pengakuan. “Mengatakan ‘tidak ada bukti’ sambil mengabaikan konteks politik dan ketakutan korban melapor adalah bentuk pengaburan baru atas kejahatan kemanusiaan,” tegasnya.

Related posts

Leave a Reply