Aktivis Lingkungan Kecam Menhut Soal Karhutla: “Jangan Kambinghitamkan Cuaca!”

Ilustrasi

JAKARTA, Organisasi lingkungan Pantau Gambut dan Madani Berkelanjutan mengecam pernyataan berulang Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni yang menyebut cuaca panas dan masyarakat sebagai penyebab utama kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sepanjang 2025. Mereka menilai narasi tersebut menyesatkan dan berpotensi menutupi akar persoalan utama: peran korporasi di balik karhutla.

Dalam siaran persnya, Putra Saptian, Juru Kampanye Pantau Gambut, menyatakan bahwa fakta di lapangan menunjukkan aktivitas masif perkebunan monokultur skala besar masih menjadi penyebab utama karhutla 2025.

Read More

“Kami menemukan data jelas: area konsesi korporasi, termasuk HGU sawit, migas, minerba, dan PBPH, merupakan lokasi utama kebakaran hutan,” tegas Putra.

Berdasarkan catatan Madani Berkelanjutan, periode Januari–Agustus 2025 mencatat area indikatif terbakar (AIT) seluas 89.330 hektare, tersebar di area konsesi di seluruh Indonesia.

Di sisi lain, Pantau Gambut mengidentifikasi 9.336 titik api di kawasan HGU dan PBPH selama periode yang sama, dengan jumlah kebakaran yang justru lebih tinggi dibanding tahun 2023—saat Indonesia mengalami El Nino.

“Klaim Menhut makin tidak relevan ketika kita melihat fakta bahwa jumlah kebakaran di 2025 lebih tinggi dari saat El Nino 2023,” ujar Putra.

Pada Juli 2025, Madani mencatat 99.099 ha area terbakar, hampir dua kali lipat dari 53.973 ha pada Juli 2023. Sementara itu, titik panas di Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) melonjak dari 3.157 (Juli 2023) menjadi 13.608 (Juli 2025)—naik lebih dari empat kali lipat.

Pantau Gambut dan Madani juga mengungkap sejumlah nama perusahaan yang memiliki area konsesi dengan luas kebakaran tertinggi, antara lain:

  • PT Sumatra Riang Lestari – PBPH di KHG seluas 4.787 ha

  • PT Sumalindo Lestari Jaya II – PBPH di luar KHG seluas 1.100 ha

  • PT Sumatera Unggul Makmur 2 – HGU di KHG seluas 260,5 ha

  • PT Mitra Austral Sejahtera – HGU di luar KHG seluas 600 ha

Putra menegaskan bahwa pemerintah seharusnya tidak tebang pilih dalam penegakan hukum terhadap korporasi pemegang konsesi yang terbakar.

“Ketika Menhut mengambinghitamkan cuaca, itu sama saja melepas tanggung jawabnya,” tandasnya.

Menurut temuan kedua lembaga tersebut, Kalimantan Barat mencatat lonjakan karhutla tertinggi selama Juli–Agustus 2025. Area terbakar naik drastis dari 1.300 ha (Juni) menjadi 40.000 ha (Agustus). Titik panas di area KHG pun meningkat tajam dari 327 menjadi 7.483 titik.

Sadam Richwanudin, Legal Specialist Madani Berkelanjutan, menyoroti maraknya kebakaran di kawasan lindung dan tutupan gambut, dan mendesak pemerintah agar segera mengambil langkah lebih tegas.

“Kebijakan siaga karhutla seperti di Kalimantan Selatan harus diadopsi di provinsi lain dengan potensi karhutla besar,” tegas Sadam.

Ia juga mengingatkan tentang pentingnya penerapan prinsip strict liability, yakni tanggung jawab mutlak perusahaan atas kebakaran di wilayah konsesinya, tanpa harus membuktikan unsur kesalahan.

Related posts

Leave a Reply