JAKARTA, Anggota Komisi I DPR RI, Abraham Sridjaja, menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) bertujuan untuk menghindari aturan yang tidak jelas serta memperjelas batasan yang selama ini hanya diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres). Hal ini ia sampaikan ke wartawan di sela-sela Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI-Polri (Pepabri) di DPR RI, Senin (10/3/2025).
Menurut Abraham, pemahaman publik mengenai revisi UU TNI masih banyak yang keliru. Ia menjelaskan bahwa sejak tahun 2004, sudah ada 10 lembaga yang diperbolehkan untuk diisi oleh perwira aktif TNI, seperti Badan Intelijen Negara (BIN) dan Kementerian Koordinator. Kemudian, Perpres memperluas cakupan ini ke Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Namun, dalam perkembangannya, ancaman baru seperti keamanan siber dan ketahanan pangan semakin meningkat sehingga diperlukan regulasi yang lebih jelas dalam bentuk undang-undang.
Beberapa pihak, termasuk Imparsial dan elemen masyarakat sipil lainnya, mempertanyakan urgensi revisi UU TNI serta dampaknya terhadap sistem meritokrasi.
Abraham menegaskan bahwa meritokrasi tetap menjadi prioritas utama. Ia menyatakan bahwa perwira aktif yang ditugaskan ke lembaga sipil harus memiliki keahlian yang relevan dan pengawasan dari DPR tetap diperlukan untuk mencegah penyimpangan.
“Di dalam TNI, ada sistem penugasan karyaan yang dilakukan jika dibutuhkan. Jadi, sistem meritokrasi ini tetap harus dinomorsatukan. Tidak mungkin seseorang yang tidak ahli dalam bidang tertentu ditempatkan di sana,” ujarnya.
Menanggapi kekhawatiran bahwa perluasan ini dapat menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN), legislator dari Partai Golkar ini menyebut bahwa ASN tidak boleh semata-mata mengejar jabatan tanpa mempertimbangkan kebutuhan negara.
“Kalau ASN merasa cemburu karena ingin mendapat jabatan, padahal negara membutuhkan disiplin dan profesionalisme dari TNI, saya rasa itu egois sekali,” tegasnya.
Abraham juga menegaskan bahwa dirinya menolak usulan agar TNI diperbolehkan berbisnis. Menurutnya, hal tersebut dapat merusak profesionalisme dan mengganggu fokus tugas utama TNI.
“Saya nggak setuju TNI berbisnis. Itu akan merusak fokus dan profesionalisme. Namun, kalau terkait dengan ketahanan pangan, saya sepakat karena ada dasar hukumnya, seperti dalam Keputusan Presiden (Keppres) tahun 2004 tentang operasi militer selain perang,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa TNI memiliki peran strategis dalam pengamanan objek vital nasional, termasuk sektor ketahanan pangan yang sudah diatur dalam beberapa regulasi sebelumnya.
Saat ini, revisi UU TNI masih dalam tahap pengumpulan aspirasi dari berbagai pihak, termasuk para pakar. Abraham menyebutkan bahwa dalam waktu dekat, DPR akan mendengarkan pandangan dari berbagai kalangan sebelum revisi ini masuk ke tahap pembahasan lebih lanjut.
“Kami masih mendengarkan masukan dari para pakar. Besok, kami akan mendengar pandangan dari Panglima TNI. Pandangan dari fraksi-fraksi sendiri masih jauh, kami masih dalam tahap diskusi,” ujarnya.
Terkait target penyelesaian revisi, Abraham berharap pembahasan bisa segera dilakukan agar regulasi ini tidak lagi berada dalam area abu-abu.
“Harus secepatnya, supaya ada kepastian di sektor ketahanan pangan dan sektor lainnya yang membutuhkan kepastian hukum,” tutupnya.